Sejak tahun 2007, warga sekitar pesisir Parangtritis-Parangkusumo, Kretek, Bantul sudah pernah mengalami penggusuran. Menyusul tahun 2010, Pemkab Bantul kembali menggusur kios dan gubuk warga tanpa ganti rugi dengan tuduhan bahwa warga telah mendirikan “bangunan liar”. Dari situlah, warga terdampak mendirikan Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) sebagai wadah untuk mengantisipasi segala penggusuran yang kerap mengancam.
Tahun ini, ancaman penggusuran pun datang dari pemerintah. Warga yang tinggal dan mendirikan bangunan di atas gumuk pasir Parangkusumo menjadi sasarannya. Dalih penggusuran ialah sebagai upaya restorasi (penataan ulang) gumuk pasir supaya lestari. Tuduhan bahwa warga telah menempati sultan ground (SG) atau tanah Kesultanan Ngayogyakarta secara tidak sah menjadi senjata pelengkap penggusuran.
Padahal, warga yang bertahun-tahun tinggal di atas gumuk pasir telah berjasa merawat kelestarian gumuk dengan cara menanam berbagai pepohonan seperti pandan, kleresede, dan cemara. Upaya warga tersebut berhasil karena pasir pantai menjadi tidak mudah terbawa angin dan menyelamatkan zona pertanian warga lainnya (di sisi utara pesisir) dari uruk pasir. Maka motif pelestarian gumuk pasir dianggap tidak wajar oleh warga sebagai dalih penggusuran. Ketidakwajaran itulah yang memupuk keyakinan: warga gumuk tidak pantas digusur!
Ternyata ada megaproyek Parangtritis Geomaritime Science Park (PGSP) yang diinisiasi oleh Pemkab Bantul, Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Badan Informasi Geospasial, dan Kemenristekdikti. Megaproyek berkonsep riset dan wisata ini meminta lahan seluas 347 hektar; dengan rincian 141 hektar zona inti, 95 hektar zona terbatas, dan 111 hektar zona penyangga. Pihak penyelenggara PGSP pun meminta agar warga gumuk yang menempati zona inti untuk segera pergi mengosongkan wilayah tersebut.
Berdasarkan surat pemberitahuan dari Pemkab Bantul yang menanggapi surat KHP Wahono Sarto Kriyo No. 120/W&K/VII/2016 Tentang Penertiban Zona Gumuk Pasir di Kawasan Gumuk Pasir di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul, dikabarkan bahwa penggusuran akan dimulai pada 1 September 2016. Pada tanggal itu pula, kubu yang bersolidaritas seperti tim Jogja Darurat Agraria (JDA), LBH Yogyakarta, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), dan PPMI DK Yogyakarta beserta awak persma mendatangi warga terdampak penggusuran di area yang diklaim zona inti PGSP.
Kami berkumpul di sekitar Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri. Di sana ada pertemuan antarwarga pesisir selatan DIY yang digusur, seperti nasib warga gumuk Parangkusumo. Warga saling berbagi cerita dan kubu bersolidaritas pun menggelar konsolidasi. Kerja-kerja pengambilan data untuk diolah menjadi karya berwacana konflik agraria juga kami lakukan.
Beberapa kawan persma bersama PPMI DK Yogyakarta pun melakukan wawancara kepada Bu Kawit, warga terdampak penggusuran sekaligus pendiri dan pengajar sanggar. Kepada kami, perempuan lulusan pendidikan guru agama negeri (PGAN) yang sehari-harinya berjualan soto ini, menceritakan jibaku warga melawan penggusuran berkedok pelestarian dan mengkritik motif penggusuran di pesisir selatan.
Ibu sudah berapa lama tinggal di sini?
Saya aslinya dari Sewon (sebuah kecamatan di Bantul). Sejak 1999 mulai mendiami Parangtritis. Lalu tahun 2001 mulai bergeser ke Dusun Parangkusumo sini. Di sekitar sini saya tinggalnya sempat berpindah-pindah. Sehari-harinya, saya berjualan soto.
Penggusuran yang katanya akan dimulai hari ini (1 September 2016) belum terjadi. Dari mana warga tahu akan adanya penggusuran?
Dari surat pemberitahuan yang diantar Satpol PP dan polisi. Katanya ada penertiban. Tapi hari ini petugas yang mau menertibkan belum ada.
Ketika surat pemberitahuan penertiban datang, kenapa Ibu tanda tangan?
Waktu itu saya sedang sakit dan belum sadar. Tapi kami yang berkumpul tadi sepakat mau mencabut tanda tangan.
Selain sanggar ini, bangunan apa saja yang termasuk zona inti PGSP?
Ada 38 rumah, 25 kandang, dan ada juga tambak. Semuanya sudah ada di peta PGSP.
Kandang yang kena gusur itu semuanya bersertifikat?
Sertifikat nggak ada. Kalau kita mau ngurus sulit. Pemerintah juga nggak ngasih tahu aturannya kalau kita harus ijin ke mana. Bertahun-tahun tinggal di sini didiamkan saja, tapi malah tiba-tiba mau digusur.
Kalau bangunan yang di pinggir jalan sana juga kena?
Kena. Karena masuk zona penyangga.
Apa sudah ada musyawarah dari pihak penggusur agar bisa disepakati warga?
Sosialisasi saja belum ada sampai sekarang, apalagi rembugan soal ganti rugi dengan warga. Warga biasanya rembugan sendiri dan menyatakan sikap tetap menolak.
Apa pekerjaan warga terdampak penggusuran di zona inti?
Ada petani, pedagang, juru parkir, pekerja wisata, dan lain-lain.
Kalau bertani menanam apa saja?
Ada singkong, terong, brambang (bawang merah), buah-buahan, dan lainnya.
Tanggapan Ibu terhadap klaim SG?
SG dan PAG (Pakualaman Ground) sudah tidak ada menurut Perda DIY No. 3/1984. Mandat gubernur saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, adalah tanah untuk rakyat; dibagi-bagikan kepada rakyat.
Kalau modus klaim tanah memakai Undang-undang Keistimewaan (UUK) yang disahkan tahun 2012?
Tapi kan ada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang lebih sah.
Ketika UUK 2012 diketok palu, apa yang Ibu lakukan bersama kawan-kawan?
Ikut demo bersama mahasiswa, kami berteriak-teriak menolaknya. Kami juga memaksa masuk ke dalam gedung parlemen kalau nggak ada anggota dewan yang mau turun menemui.
Menurut tanggapan Ibu soal isu pelestarian lingkungan sebagai alasan penggusuran?
Itu alasan saja biar semua tanah di DIY bisa di-SG-kan. Lha pihak Pemerintah (Pemkab Bantul) kok mau-maunya disuruh buat menggusur, Kraton kok nyuruh Negara. Terus rakyatnya mau dikemanakan?
Kabar dari koran-koran lokal, motif penggusuran supaya melestarikan lingkungan supaya tidak rusak. Kalau menurut Ibu dan warga yang sudah bertahun menjaga kelestarian lingkungan di sini, bagaimana?
Mana buktinya kami merusak? Lihat saja di sini banyak pepohonan yang kami tanam. Warga sudah bisa melestarikan lingkungan sendiri dan punya pencaharian sendiri. Yang kami lakukan, nggak usah dirusak.
Penggusuran sudah berkali-kali, dari tahun berapa?
Dari tahun 2007 sudah ada penggusuran di Karang Bolong, berlanjut tahun 2008-2009 sampai Kali Mati. Tahun 2010 juga terjadi. Saat itu kami tanpa diberi ganti rugi dan dicap sebagai orang-orang liar. Maka warga mendirikan ARMP pada 2010.
Pola penggusurannya bagaimana?
Sejak tahun 2007, dari pesisir sisi timur terus mengarah ke barat. Tahun 2010, penggusuran tertahan di Grogol. Tahu-tahu kita dikepung dari sisi barat, itu Pantai Depok (sebelah barat Parangtritis-Parangkusumo) sudah digusur buat dibangun landasan pacu dengan mengatasnamakan klaim SG.
Kenapa Ibu tetap bertahan?
Saya melihat dampak penggusuran semena-mena sehingga rakyat nanti susah cari makan.
Punya ide bikin sanggar belajar dari mana?
Dari kecil cita-cita saya sudah begini. Ingin bikin sanggar. Saya kan lulusan PGAN. Juga, anak-anak sini kalau mau belajar, tempatnya jauh.
Bu Kawit sendiri mendirikan sanggar ini sejak kapan dan bagaimana proses belajar anak-anak di sanggar?
Sudah satu bulan lalu. Ini bertujuan untuk membantu anak-anak sekolah belajar. Kini sudah mencapai 15-20 orang peserta yang terdiri dari siswa SD dan SMP. Adapun yang kini sedang dipelajari seperti iqra, bahasa inggris, matematika, dan kesenian. Kegiatan belajar terbatas pada hari Senin, Kamis, dan Sabtu dari Ashar hingga Maghrib.
Jumlah anak-anak yang berminat terus bertambah sehingga kami kewalahan. Walau tempatnya sumpek tapi anak-anak senang. Saya dibantu teman-teman relawan untuk mengajar. Sekarang pun waktu berjualan saya jadi berkurang hanya sampai jam 3 sore karena berkewajiban mengajar di sanggar ini. Tapi sanggar ini masuk ke dalam zona inti PGSP dan akan digusur.
Yang digusur selain bangunan?
Pepohonan yang ditanam warga. Warga menanam itu supaya pasir tidak gampang kebawa angin. Kalau digusur semena-mena, pasir bisa terbang ke kampung. Ekosistem gumuk juga rusak.
Tradisi menanam pohon di gumuk ini sejak kapan?
Sejak mbah buyut kami masih ada. Yang paling lama itu pohon kleresede. Beberapa pohon ditebas buat tambak. 2 tahunan ini tambak mulai ada.
Kami juga pernah membantu UGM menanam cemara. Kami menanam ketika hawa siang sedang panas-panasnya dan kami harus mengemban pohon-pohon itu sendiri. Ada 3 kali kami membantu penanaman. Tapi kok sekarang tanaman mau digusur, lha maunya UGM gimana?
Pernah mengendus kedok dari tiap penggusuran?
Waktu penggusuran tahun 2010, sempat mendengar ada investor dari Jepang menawarkan nilai kontrak 60 triliun rupiah untuk mendirikan hotel dan obyek wisata lain-lain.
Sudah ada janji-janji setelah digusur?
Belum diajak rembugan tapi tahu-tahu kita sudah didata.
Wilayah Parangtritis dan Parangkusumo jelas melawan penggusuran. Setahu Ibu, daerah pesisir selatan yang bakal kena hal serupa?
Watukodok di Gunungkidul dan pesisir Kulon Progo juga kena dan mereka juga melawan.
Mengetahui banyaknya penggusuran di wilayah DIY, pendapat Ibu?
Tegakkan saja aturan yang berlaku. Mematuhi aturan negara yang ada.
Sikapnya tetap ya Bu, warga tetap tidak layak digusur?
Iya. Kami merawat alam sini. Menanam pohon dan tidak rela tanaman juga kena gusur. Nanti pasir-pasir bisa melorot dan kalau tidak ada pohonnya bisa terbawa angin. Misal tanaman kleresede itu yang bisa jadi pakan kambing, kalau tanaman itu tidak ada, kambing mau makan apa, makan pasir?
***
Tanpa diduga, pemberitahuan akan sosialisasi pun tiba. Tanggal 13 September, warga diundang ke Kantor Desa Parangtritis untuk mendengarkan sosialisasi penggusuran dan Megaproyek PGSP. Sosialisasi tersebut dihadiri pula oleh pihak Pemerintah Desa Parangtritis, Satpol PP Bantul, akademisi UGM, dan Komndo Rayon Militer Kretek. Lagi-lagi, klaim atas SG dan kedok pelestarian gumuk pasir dijadikan alasan pihak penyelenggara PGSP. Pihak penggusur menyatakan bahwa sosialisasi tersebut sebagai “musyawarah”. Namun seusai menghadiri sosialisasi, Bu Kawit dan orang-orang seperjuangannya belum menganggap agenda tersebut sebagai “musyawarah”, karena tidak sesuai kemufakatan dan hanya ajang menyampaikan keinginan pihak penggusur. “Kami tetap tidak sepakat digusur dengan kedok apapun,” terang Bu Kawit di Sanggar Belajar Kuncup Melati Mandiri.
Tim Liputan:
Abdus Somad (PPMI), Taufik Nurhidayat (PPMI), Imam Ghazali (Ekspresi), Rimba (Ekspresi), Faris (Rhetor), Javang Kohin P (Rhetor), Bintang W. P. (Poros), Afzal N. I. (Motivasi/Surakarta), dan Widia (Poros).