Wajah Feodalisme Laten di Ruang Akademik

1
1919

Mengacu kepada definisi kamus besar bahasa indonesia, feodalisme dapat ditafsirkan sebagai tiga hal ; 1 sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan; 2 sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja; 3 sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah

Sebagai sebuah sistem sosial, feodalisme diduga akan sepenuhnya lenyap mengikuti keruntuhan monarki. Sementara demokrasi disangka sebuah sistem yang sempurna akan melenyapkannya. Sialnya, meski menawarkan sebuah tata negara yang paripurna berhasil tidaknya tercipta sebuah tatanan masih bergantung kepada siapa yang menjalankan sebuah Negara.

Sesungguhnya dalam ruang sadar manusia Indonesia, feodalisme masih persoalan yang bias. Feodalisme bagi sebagian kita, dianggap sebagai prosesi sejarah yang layak dikenang. Bagi sebagian lagi, dianggap kekayaan budaya yang wajib lestari secara utuh. Maka dibenarkanlah kemudian seluruh turunan nilai kefeodalan, dikukuhkanlah ia dalam selubung etika.

Memang benar etika penting. Sayangnya standar ganda akan selalu berlaku mengikuti status penuturnya. Tentunya bila dasar pemahaman kita, etika merupakan warisan sistem feodal. Dalam tetralogi pulau buru karangan Pramoedya Ananta Toer, digambarkan tokoh Minke sebagai kaum terdidik yang geram kepada aturan penghambaan feodalisme Jawa kala itu. Dimana pada setiap adegan membungkuk hingga menyentuh tanah kepada ayahandanya, Minke dipastikan mengutuk dalam hati perihal aturan yang dicipta leluhurnya.

Secara ideal konsep pendidikan ditujukan untuk mencerdaskan. Pendidikan diharapkan menjadi instrumen asah nalar, pemisah benar salah. Ditunjuklah ilmu pengetahuan sebagai personifikasi konkrit dari pendidikan. Sementara kampus hanya satu dari sekian wadah yang menjanjikan manisnya pendidikan. Lalu bagaimana menemukan irisan antara feodalisme dengan dunia kampus ?

Sebagai warisan dan bagian sistem monarki, feodalisme dianggap racun bagi sistem demokrasi. Serupa dengan id dalam taksonomi pikiran Sigmund Freud, feodalisme berusaha direpresi oleh ruang kesadaran berdemokrasi. Demokrasi menjadi personifikasi dwitunggal ego-superego. Namun secara teoritik, dipastikan setiap represi akan memicu resitensi. Begitulah yang terjadi dalam upaya demokrasi merepresi feodalisme. Feodalisme merespon represi demokrasi dalam bentuk resistensi terselubung. Bersembunyi di ruang kesadaran terjauh, dan kelak muncul di ruang sadar terluar sebagai tabiat yang luput oleh demokrasi.

Wajah lain feodalisme di era demokrasi bukan lagi kepatuhan pada raja, tapi kepada senjata. Bukan pula monopoli tanah, tapi monopoli kebenaran. Begitulah feodalisme dipraktekkan oleh kekuasaan hingga dunia pendidikan. Di dunia kampus, monopoli kebenaran dipraktekkan oleh dosen-dosen di ruang-ruang kelas dalam berbagai bentuk. Ada yang secara terang-terangan menolak segala bentuk kritikan teoritik dengan alasan yang berbau etik, atau paling dangkal menggunakan posisi gelar akademik sebagai jimat penangkal kritik demi memenangkan perdebatan.

Yang paling parah adalah bentuk feodalisme laten tersebut menjalar dan menular hingga ke watak mahasiswa yang sesungguhnya diharapkan dapat meretas virus feodal yang mewabah di dunia pendidikan tinggi. Sampai hari ini tentunya, masih mudah kita temukan praktik perpeloncoan senior ke junior yang tanpa sadar sesungguhnya bentuk paling terang dari praktik feodalisme paling klasik. Kemudian oleh beberapa orang, praktik perpeloncoan dijaga sebagai budaya dengan alasan etik pula. Akhirnya ruang akademik bukan lagi panggung ilmiah bagi para generasi pelanjut untuk menempa diri dengan kritik dan otokritik, kelas bukan lagi wadah diskursus bagi perang argumentasi teori. Kampus hari ini menjadi semacam pengadilan moral yang mengakimi benar salah berpakaian, bukan lagi institusi yang dapat diharapkan untuk menggempur kesenjangan dan kepasrahan manusia, serta memperbaiki kualitas peradaban.

Tentunya perbaikan mental dan pemberangusan feodalisme secara fundamental dalam ruang sadar manusia tidak dapat dilakukan dengan berpangku tangan dan semata berbicara. Watak sebagai bagian dari pikiran hanya dapat diperbaiki dengan aktivitas berpikir pula. Diskursus dan menulis hanya sedikit dari sekian aktivitas olah pikir yang dapat diharapkan sebagai jalan perbaikan, atau keduanya secara bersamaan. Secara sederhana, menulis diskursus itu sendiri mungkin saja.