Sejarah Pers Mahasiswa
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) bukanlah organisasi yang muncul secara tiba-tiba dan membawa misi agama, suku, ras maupun golongan.
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) bukanlah organisasi yang muncul secara tiba-tiba dan membawa misi agama, suku, ras maupun golongan.
Beberapa kali nama berubah. Peleburan nama IPMI dari Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) dengan Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) di Konferensi II Pers Mahasiswa Indonesia pada 1958. Kemudian Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Universitas Brawijaya pada 1992. Hingga berubahmenjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Kongres III PPMI di Jember. Perjalanan ini menghabiskan waktu 37 tahun dan nama PPMI dengan kata ‘pers’ sudah bertahan 20 tahun sampai sekarang.
Lantaran dianggap sebagai anak Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi karena dalam Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangganya tidak mencantumkan Manipol Usdek, salah satu aturan dari Soekarno sebagai haluan negara. Menjadi Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia pada 1966 adalah pilihan untuk melawan sikap kesewenangan demokrasi terpimpin Soekarno.
Rintangan IPMI mulai menumpuk di era Rezim Orde Baru. Pemerintah membuat Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia (BKSPMI) sebagai lawan tanding IPMI sembari mengkerdilkan peran IPMI. Tak berhenti disitu, peraturan normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK) dibuat, peraturan penerbitan khusus, susunan lembaga organisasi di lingkungan kemahasiswaan, menjadikan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) kocar kacir. Para anggota IPMI mulai banyak yang meniggalkan wadah ini.
Soekarno digantikan Soeharto pada 1967 (silahkan benarnkan ya. saya remang-remang kak. bukan anak sejarah). Dua tahun setelahnya, IPMI melakukan kongres dengan hasil sikap independensi yang harus diambil dalam menyikapi kebijakan pemerintah.
Tak berhenti disitu, peraturan normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK) dibuat, peraturan penerbitan khusus, susunan lembaga organisasi di lingkungan kemahasiswaan, menjadikan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) kocar kacir. Para anggota IPMI mulai banyak yang meniggalkan wadah ini. IPMI mulai tidak berbentuk. Kegiatan-kegiatan mulai mandek seiring tindakan represif dari pemerintah Orba. Sulitnya perijinan untuk kegiatan, misalnya, terjadi pada 1980-an.
Tidak seperti awal-awal IPMI yang sempat diakui oleh Departemen Penerangan di era Orde Lama. Berungtungnya, beberapa kampus muncul Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) baru. Terbitan buletin, majalah, masih terjaga di tubuh LPM. Meski di sisi lain, pers mahasiswa dinilai mulai tak acuh untuk mengawal kondisi politik pemerintah dan lebih menyibukkan diri dengan ruang redaksi dan kualitas terbitan LPM.
Namun, persma menyadari itu sebagai tindak represifitas pemerintah dan memanfaatkan pelatihan sebagai konsolidasi atas mandeg nya IPMI untuk mencari solusinya. Pertemuan pers mahasiswa kian sering sejak 1987 di Balairung, Yogyakarta. Di saat yang sama, pers mahasiswa membentuk panitia ad hoc untuk merumuskan suatu wadah baru untuk berkumpulnya para aktivis pers mahasiswa. Hasilnya, muncul empat panitia ad hoc yang terbagi atas dua poros, Jakarta dan Yogyakarta. Poros Jakarta melakukan konsolidasi dengan pers mahsiswa di bagian barat.
Begitupun dengan Yogyakarta yang melakukan konsolidasi untuk wilayah timur. Semangat pers mahasiswa untuk menghidupkan kembali IPMI muncul di Purwokerto dan menghasilkan Deklarasai Batu Raden pada 1988. Namun kondisi politik dan keamanan sedang tidak mendukung. Peristiwa GPK Warsidi / Way Jepara pecah. Rencana untuk menghidupkan IPMI kembali gagal.
Namun pertemuan itu tidak sampai tuntas. Melihat itu, diadakan pertemuan tingkat nasional pada 1-3 April 1989 di Universias Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Hasilnya, menyepakati adanya Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM) di tingkat provinsi. Mereka memutuskan untuk menuntu panitia kongres yang terdiri dari empat panitia ad hoc dan enam anggota untuk mempertanggungjawabkan kepanitiaannya. Hal ini sampai dipenghujung 1991. Karena belum ada langkah jelas, para anggota IPMI tahun 1990-an mendesak panitia kongres untuk segera membentuk wadah baru selain IPMI. Salah satu sebabnya, Sekjen terpilih pada Kongres V IPMI pada tahun 1980 belum juga berganti sampai tahun 1991.
Pemerintah rezim Orde Baru telah memberlakukan normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK) pada 1978. Tentunya hal ini juga berdampak pada ruang gerak aktivis pers mahasiswa untuk lebih menyibukkan diri pada kegiatan akademik. Karena aturan itu melarang mahasiswa terlibat dalam kegiatan politik. Bukan tanpa alasan. Pemerintah pada waktu itu mengalami pobia terhadap kata ‘pers’, terlebih ada kata ‘mahasiswa’. Mengingat para mahasiswa era 70an cukup vokal untuk mengkritisi pemerintahan Orba.
Mulai dari normalisasi kehidupan kampus, peraturan penerbitan khusus, susunan lembaga organisasi di lingkungan kampus, menjadikan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) kocar kacir. Akibatnya, IPMI dirasa tak bisa lagi menjadi wadah berkumpul para aktivis pers mahasiswa. Tak lagi bisa menjadi penjawab suara kebebasan akademik dan isu-isu nasional.
Karena bentuk dan wadah berkumpulnya persma ini berada diluar lingkungan kampus. Ini disebabkan oleh IPMI yang terlalu vokal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah Orba yang identik dengan otoritarianisme. Tak kalah akal. Pemerintah sengaja membuat aturan pedoman umum organisasi kemahasiswaan agar PPMI tak bisa berjalan kembali. Yaitu mengganti nama PPMI menjadi Forum Komunikasi oleh Dirjen Dikti. Juga sempat terjadi perebutan kekuasaan atas PPMI. Dalam acara dengan pendapat tentang PPMI dengan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika (PPG), Drs. Subrata pada 1993 menghasilkan kesepakatan PPG sebagai pembina PPMI. Namun langkah ini mendapat perlawanan dari Dirjen Dikti. Pihaknya mengaku wewenang atas PPMI adalah Dikti, bukan PPG.***