Selama birokrat kampus terus mengamini universitas sebagai ladang kekuasaan, maka ia akan terus menjajal pola birokrasi yang pakem guna mengukuhkan pengaruhnya atas mahasiswa. Apalagi jika mahasiswa dianggap hanya sekadar barang dagang dengan embel-embel lulus cepat dan pekerjaan bagus, kritisisme akan menjadi barang mewah dalam kebebasan akademik mahasiswa.
Dengan orientasi pendidikan yang mencetak keseragaman karakter, kuasa bahasa adalah salah satu jalan ampuh yang lazim digunakan pihak kampus. Birokrat kampus tentu memiliki akses berlebih guna membubuhkan jargon-jargon demi kuasa bahasa yang tak terbatas atas mahasiswa. Belakangan jargon yang sering mencuat dalam polemik di pendidikan tinggi kita adalah keluarga.
Saya sendiri pernah terpapar oleh daya magis dari diksi ”keluarga”. Syahdan, salah satu kawan menggelar diskusi bertema gender di dalam kampus, namun sayangnya diskusi kecil-kecilan itu ditolak oleh birokrat. Alasan pertama adalah izin. Satu alasan yang cukup untuk disebut dangkal karena kampus adalah ruang publik milik mahasiswa, bukan birokrat. Lalu alasan seterusnya adalah ketidaksesuaian tema diskusi dengan visi-misi kampus.
Lantas, ketika saya mulai membuka argumentasi mengenai hubungan visi-misi kampus dan tema diskusi itu, birokrat pun menutup diskusi dengan kalimat yang sangat menakjubkan, ”kita ini kan keluarga. Kami orang tua kalian di kampus. Kita punya arahan buat kalian, punya visi-misi buat kalian. Selama itu bagus menurut kita, itu pasti baik buat mahasiswa.” Jujur, ini sangat ironis. Orang tua kandung saya saja memberi kebebasan berilmu dan pengetahuan, kenapa mereka yang mengaku sebagai orang tua di kampus harus memukul rata isi kepala semua mahasiswa?
Pada akhirnya saya tak ingin melanjutkan perdebatan. Sekuat apapun argumentasi hanya akan berakhir menjadi ludah jika alasan yang digunakan adalah jargon-jargon basi macam kekeluargaan, orang tua di kampus, dan ujung-ujungnya menanyai nomor induk mahasiswa. Percuma. Setidaknya jalan lain untuk menguji daya tahan nalar politis birokrat kampus semacam itu adalah dengan mengkritiknya di forum-forum mimbar akademik, atau kalau perlu di ruang perkuliahan secara langsung.
Rupanya, kasus seperti ini tak hanya menimpa saya saja. Agni, mahasiswi penyintas kekerasan seksual yang berasal dari Universitas Gajah Mada harus mengalami hal serupa tetapi tak sama dengan saya. Belakangan kasus Agni berakhir damai, namun itu tak lepas dari wibawa rektor yang coba ditunjukkannya melalui jargon ”keluarga” saat mendamaikan Agni dengan sang pelaku.
Ternyata, polemik jargon keluarga ini menemui korban baru lagi. Baru beberapa hari yang lalu, Pers Mahasiswa SUARA USU dibubarkan oleh pihak birokrat. Alasannya adalah SUARA USU dituding mempromosikan LGBT lewat karya sastra yang dimuat di laman SUARA USU. Semakin aneh lagi ketika ditanya mengapa harus mengumpulkan seluruh pengurus Suara USU, rektor menjawab, ”kalian dengar saja suruhan kami. Kami orang tua kalian.” (Tirto, 26 Maret 2019)
Membaca pengalaman saya dan dua kasus terakhir ini, tampak jelas bahwa ”keluarga” adalah bentuk wacana yang sengaja digunakan oleh birokrat kampus untuk mengendalikan mahasiswanya. Mahasiswa dituntut, diatur, dan dilarang ini itu. Tetapi ketika menuntut haknya, dianggap sebagai anak yang harus patuh pada orang tuanya. Di sini kita menemui keluarga bentukan birokrat adalah sebentuk racun bahasa dalam dunia pendidikan tinggi kita.
Diksi ”keluarga” dalam penyelesaian masalah dengan mahasiswa adalah bentuk lain upaya dari birokrat kampus untuk mengukuhkan posisinya di dalam menara gading akademik. Mahasiswa seakan-akan dijadikan barang jualan, dan birokrat kampus adalah penyelamat mahasiswa. Dengan isitlah dari Paulo Freire, kerja macam ini disebut dengan solider semu.
Kini kita akan sering melihat partisipasi mahasiswa dalam pembangunan kampus semakin ke sini semakin dikurangi. Mahasiswa semakin didikte oleh kampus dan merasa semuanya seolah baik-baik saja. Proses pendidikan berakhir satu arah. Ruang dialog di dalam pendidikan pun tambah menyempit jika fenomena ini terus dibiarkan. Kuasa bahasa dalam diksi ”keluarga” menjerat mahasiswa sampai di titik kesadarannya.
Akan tetapi kesadaran-kesadaran naif dari mahasiswa ini bukan terbersit begitu saja. Ia ada lantaran kuasa bahasa kampus dijejalkan bersamaan dengan proyek pembangunan fisik yang memukaukan mata. Kesadaran naif mahasiswa lantas menjadi produk turunan dari orientasi pendidikan yang serba materialistik. Setelah itu, birokrat kampus menjadi kelas dominan. Pikiran dan rasa mahasiswa tersamakan oleh hegemoni kampus.