Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) telah kehilangan gaungnya semenjak diberlakukannya normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1978. Akhirnya aktivis pers mahasiswa tidak mempunyai satu wadah bersama di tingkat Nasional. Untuk menyiasatinya, para aktivis pers mahasiswa melakukan konsolidasi untuk membentuk wadah baru selain IPMI. Kemudian, pada 15 Oktober 1992 di Universitas Brawijaya Malang, terbentuk wadah baru, Perhimpunan Penerbitan Mahasiswa Indonesia. Namun nama ‘penerbitan’ tak berumur panjang. Kongres ke-II PPMI di Universitas Jember menghasilkan deklarasi Tegal Boto yang merubah nama ‘penerbitan’ menjadi ‘pers’, sehingga menjadi menjadi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Deklarasi tersebut mengajak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) untuk tak menjadikan SIUPP atau STT sebagai batasan-batasan kerjanya.
Batasan kerja PPMI selanjutnya hanya berupa kegiatan yang mengandung unsur politik, tak boleh berbau politis. Mengingat terbentuknya PPMI adalah atas dasar pengekangan dari pemerintah untuk dunia pers. PPMI ada untuk memperjuangkan kebebasan dunia pers, juga meningkatkan kapasitas dengan membuat pelatihan jurnalistik untuk para anggotanya. Selain itu juga melakukan advokasi terhadap LPM yang terlibat masalah dengan birokrat kampus. Karena hal itu dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap kerja-kerja jurnalistik oleh pers mahasiswa.
Tak bisa dipungkiri, PPMI tak bisa sendirian dalam menjalankan kerja-kerjanya. Ia dibantu oleh lembaga pers mahasiswa se-Indonesia. Lembaga-lembaga pers seperti Aliansi Jurnalis Independen, Dewan Pers, media-media nasional juga turut membantu dalam menyuarakan kebebasan pers. Terlebih saat para aktivis pers mahasiswa Indonesia sedang menghadapi tindakan represif dari pihak kampus maupun pemerintah. Meski begitu, PPMI menolak adanya unsur politik dalam menjalankan kerja-kerja dengan koleganya itu.
Kolega PPMI, seperti LPM tentunya mempunyai otonomi sendiri atas lembaganya. Oleh karena itu, PPMI tidak mempunyai hak untuk ikut campur lebih jauh atas LPM karena hubungan keduanya hanya bersifat koordinasi. Tak terkecuali alumni. Mereka memegang peranan penting sebagai penasihat. Layaknya penasihat, mereka memantau, menerima saran, memberi masukan, kepada PPMI saat dibutuhkan maupun tidak.
Kerja-kerja kepenasihatan juga cenderung tidak berjalan dengan lancar karena beberapa hal. Seperti para alumni yang sudah tak lagi bersinggungan dengan dunia pers seperti saat menjadi aktivis pers mahasiswa dulu. Menjadi ibu rumah tangga, dosen, peneliti, politisi, pengusaha, dan lain sebagainya. Meski demikian, masih ada juga alumni yang tidak berprofesi sebagai jurnalis, namun masih mengikuti perkembangan LPM-nya sendiri maupun PPMI. Lalu, terbentuklah Forum Alumni Aktivis (FAA) PPMI di Jakarta yang lahir atas keinginan para alumni untuk bersatu dan melanjutkan semangat idealisme pers mahasiswa. Yaitu mencerdaskan bangsa dengan menjadi pengontrol kebijakan pemerintah, misalnya. Seperti penasihat pada umumnya, alumni tidak mempunyai hak untuk ikut campur internal PPMI maupun LPM secara kerja-kerjanya. Mereka berada diluar tubuh PPMI maupun LPM. Untuk itu, PPMI maupun LPM jauh dari praktik intervensi oleh para alumni.
Sejak 1992 sampai sekarang PPMI mempunyai dinamika yang unik. Jika IPMI mempunyai masalah minim kepercayaan dari para anggota. Karena dirasa tak bisa menjadi wadah berkumpulnya para aktivis pers mahasiswa. Sedangkan PPMI juga mengalami pasang surutnya kepercayaan dari para LPM, akankah aktivis pers mahasiswa akan jatuh dalam lubang yang sama? Seperti minimnya kepercayaam terhadap PPMI sebagai wadah berkumpul dan berjejaring aktivis pers mahasiswa. Cukuplah IPMI yang mengalami masa-masa kelam itu. Kini, sudah waktunya sebagai aktivis pers mahasiswa untuk lebih percaya terhadap PPMI, sebagai wadah yang ideal untuk berkumpul dan berjejaring bersama aktivis pers mahasiswa se-Indonesia.
Viva persma!