Pers Mahasiswa merupakan salah satu bagian dari budaya demokratis dalam kehidupan masyarakat khususnya di kampus. Peran aktif awak pers mahasiswa dalam kegiatan meliput dan memproduksi tulisan-tulisan ‘kritis’ selalu jadi bagian yang tak terpisahkan. Begitu pula awak magang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta yang menerbitkan buletin dengan isu utama pendirian fakultas Kedokteran. Kesiapan kampus UAD dan masalah fasilitas menjadi sorotan. Harapan akan perbaikan tentu bukan hanya dari penulis buletin, namun mahasiswa UAD. Tuntutan atas fasilitas tentu tak muluk-muluk mengingat mereka menyumbang dana melalui SPP tiap semesternya.
Sayangnya ‘niat baik’ rekan-rekan LPM Poros untuk mengkritik kampusnya agar bisa berbenah tak disambut baik oleh Wakil Rektor III UAD, Abdul Fadlil. Ia merasa tidak terima terhadap berita fakultas kedokteran tersebut dan mengeluhkan mengapa LPM Poros selalu mengkritisi kampus. Seperti yang dikutip dari persmaporos.com, LPM Poros dianggap tidak bermanfaat bagi universitas oleh Fadlil. Di akhir perbincangan, Fadlil secara lisan lantas menyatakan bahwa LPM Poros telah dibekukan, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan jurnalistik maupun organisasi. Pernyataan ketidaksukaan terhadap LPM Poros pun terlontar dari Safar Nasir selaku Wakil Rektor II.
Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh birokrat UAD patut diduga telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28 E ayat 3 menyatakan bahwa warga negara Indonesia selain bebas untuk berserikat, juga bebas untuk mengeluarkan pendapat. Sedangkan Pasal 28 F menyatakan bahwa setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Sebagai civitas akademik terdidik yang berbudi luhur, birokrat UAD seharusnya telah paham nilai-nilai dasar HAM tersebut. Atas perlakuan sepihak terhadap LPM Poros lalu menimbulkan pertanyaan, apakah perlakuan tersebut timbul karena para birokrat telah gagal memahami pasal UUD tersebut atau karena arogansi untuk menutupi hal-hal yang tidak ingin diketahui publik semata?
Selain diduga mencederai pasal UUD, sikap Fadlil yang tak merespon pemberitaan melalui hak jawab dan malah melakukan pemberedelan telah memperlihatkan bahwa kurang pahamnya akan etika jurnalistik dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal Pemimpin Redaksi LPM Poros, Fara Dewi Tawainella pun telah menjelaskan secara langsung tentang prosedur jika publik keberatan dengan isi berita. Maka timbul pertanyaan baru, haruskah Presiden RI, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, atau orang tuanya yang menjelaskan baru para birokrat tersebut paham?
Atas pembekuan dan pemberedelan sepihak yang dilakukan birokrat UAD terhadap LPM Poros, maka kami Perhimpuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang yang beranggotakan 24 LPM se-Malang dengan tegas menyatakan :
- Menolak pembekuan dan pemberedelan terhadap LPM Poros karena diduga bertentangan dengan pasal UUD 1945 dan UU No.40 seperti yang telah disebutkan di atas.
- Mengecam tindakan sepihak yang dilakukan birokrat UAD karena mencederai nilai-nilai demokratis di lingkungan akademis.
- Mengajak seluruh insan Pers untuk menentang dan mengecam segala tindakan pelemahan dan upaya pembungkaman informasi publik yang berbasis jurnalistik.
- Meminta PP Muhammadiyah untuk menegur pihak-pihak birokrat UAD yang terlibat dalam pembekuan dan pemberedelan LPM Poros agar tidak terjadi hal serupa dikemudian hari serta memberikan pengarahan mengenai pentingnya bersikap terbuka terhadap kritik.
Narahubung:
Imam Abu Hanifah, Sekjend PPMI Kota Malang (085696931450)