Badrodin Haiti sepertinya harus mengajak anak buahnya berpiknik. Mengajak kawan-kawan polisi berpiknik adalah usulan baik daripada menyarankan mereka membaca Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa atau Diburu di Pulau Buru karya Hersri Setiawan.
Dengan berpiknik, pikiran menjadi ringan. Pikiran akan menjadi berat bila usai membaca buku sarat fakta sejarah. Apalagi fakta-fakta sejarah yang menyoal tragedi kemanusiaan, dijamin moral akan semakin terbebani. Mengingat beban moral pekerjaan kawan-kawan polisi begitu memberatkan, maka menyarankan berpiknik dirasa lebih mulia daripada membaca buku.
Dimohon agar Kapolri segera menginstruksikan anak buahnya berpiknik. Kalau perlu dibikinlah surat edaran kepada ormas-ormas fasis bahwa pihak kepolisian tidak akan melayani laporan dari ormas fasis apapun karena sedang ada agenda piknik akbar. Bila nanti ada acara-acara kebudayaan terancam digrebek ormas fasis, biarlah orang-orang waras pemberani yang akan menghadapinya.
Semoga setelah berpiknik ria, kawan-kawan polisi semakin cerdas dan bernyali menghadapi geng fasis!
Adalah kemuakan yang kian mengganjal perasaan orang-orang waras di negeri ini akibat terus dipaksa menyaksikan geng-geng fasis berulah dengan asyiknya. Kita semua dipaksa menjadi pelupa. Bila perlu sekalian buta, tuli, dan gagap bicara.
Sementara pemerintah terus berkhotbah supaya kita mampu bersaing menghadapi Pasar Bebas Asia Tenggara. Tak mau ketinggalan, aparat-aparatnya pun membual kemuliaan bela negara. Apa kita mau fokus menghadapi bangsa asing sebagai upaya bela negara sedangkan menghadapi kaum fasis lokal saja tidak becus?
Setelah sekian kali mengetahui kabar pelarangan dan pembubaran terhadap acara yang menghadirkan konten-konten wacana tragedi ’65, maka tidak terlalu mengejutkan ketika mengetahui kabar pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta karya Rahung Nasution batal terlaksana di Goethe Institute, Jakarta. Polsek Menteng mengimbau agar acara tersebut segera dibatalkan lantaran akan ada aksi penentangan dari ormas fasis. Kejadian sial pada Rabu, 16 Maret 2016 sore itu menandakan bahwa otoritas negeri ini lebih memilih melayani kepentingan ormas fasis daripada melindungi hak-hak asasi orang-orang waras yang peduli terhadap nasib sejarah bangsa dan keadilan kemanusiaan. Maka bangunkanlah pemerintah jika suatu hari nanti masih mengigau soal penegakan HAM bagi warga negaranya!
Beberapa pekan sebelumnya, panitia Belok Kiri.Fest tertimpa kesialan serupa. Sehari sebelum pembukaan acara, mereka mendapat gangguan izin agar tidak melangsungkan festival tersebut di Taman Ismail Marzuki (TIM). Pihak kepolisian berdalih bahwa acara tersebut belum memperoleh izin padahal panitia telah mengirimkan surat permohonan jauh-jauh hari. Usut punya usut, ternyata pihak kepolisian lebih menuruti kemauan pihak ormas fasis agar acara tersebut batal terlaksana. Setidaknya, ormas fasis sudah bisa menyeringai licik mengetahui bahwa pelaksanaan kegiatan tersebut mendapat sedikit kendala. Itulah kerjaan setan!
Hari ini, ormas fasis seakan menjadi warga negara istimewa. Aparat negara semacam polisi dengan gampangnya mengafirmasi kepentingan politik mereka. Disinyalir kepentingan elite penguasa antidemokrasi turut menunggangi setiap gerak langkah bajingan-bajingan fasis tukang gerebek itu. Tidak lain karena wacana pelurusan sejarah, pembongkaran tragedi, dan penegakan HAM sanggup menjungkalkan para elite antidemokrasi dari kursi kekuasaan. Konflik memang sengaja diciptakan antarsesama sipil. Ormas fasis diberdayakan sebagai pasukan tempur sedangkan aparat selalu siap sedia menjadi partner baginya.
Legitimasi penyerangan terhadap setiap agenda pewarasan sejarah ialah bahwa di balik agenda tersebut terselip paham yang diyakini bersifat merusak moral bangsa. Tentunya paham mana lagi kalau bukan komunisme. Barangsiapa mengundang publik untuk mengkaji ulang tragedi ’65 dan mempedulikan nasib korban-korban yang dicap komunis, maka tak segan-segan geng fasis mencap mereka yang waras sebagai antituhan. Antituhan berarti perbuatan tidak baik. Lalu mereka yang waras akan dicurigai membangkitkan lagi hantu komunisme di bumi pertiwi untuk membalas dendam; mencipta pertumpahan darah. Klaim semacam inilah yang menjadi provokasi andalan menebar kebencian kepada mereka yang dicap komunis atau kiri tanpa mau membaca literatur kekirian sekalipun.
Padahal jika kita memakai akal sehat dalam mengkaji tragedi ’65, konflik berdarah tersebut tercipta lantaran konstelasi politik sedang memanas. Banyak pihak terlibat di dalamnya selain beberapa tokoh PKI. Konflik internal di dalam tubuh TNI turut memantik gerakan penculikan jenderal-jenderal di Jakarta. Di saat posisi Soekarno makin terjepit, Soeharto mengomandoi rombongan militer versinya berusaha untuk merebut kursi kekuasaan dengan bermodal “supersemar”. Orde Lama dikebiri, lalu mulailah pembantaian kepada orang-orang yang dicap komunis.
Buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa bisa menjadi bacaan ideal untuk mengungkap asal mula tragedi ’65 dan pembantaian setelahnya, siapa saja pelakunya, siapa tokoh yang diuntungkan karena tragedi tersebut, pula bagaimana Soeharto membangun monumen-monumen yang menjustifikasi kebiadaban komunisme. Bahkan literatur Manifesto Komunis karya Marx dan Engels tidak sekalipun menyebutkan bahwa membunuh para jenderal sebagai metode revolusi.
Lantas logika setan macam apa yang menganggap bahwa komunis adalah penjahat, mengkaji wacana progresif kiri sebagai antituhan, dan mempedulikan korban-korban pelanggaran HAM dari tragedi ’65 sebagai komunis-komunis baru?
Entah membaca teori-teori politik Niccolo Machiavelli atau tidak, yang jelas klan-klan fasis yang membenalu di negara ini tengah mempraktikkan kekuasaan secara licik nan lihai. Politik wacana dipermainkan bahwa mereka akan melindungi segenap rakyat dari keberingasan hantu komunisme. Alat-alat kekuasaan macam aparat dan ormas fasis disiagakan sebagai dukun pengusir roh-roh jahat komunisme yang konon katanya akan bangkit bergentayangan.
Bila aparat negara dan ormas fasis begitu kompaknya menghalalkan represivitas, apa lebih baik kita mempercayakan penjaminan hukum atas HAM kepada polisi? Atau lebih baik kita beramai-ramai membuka sumbang dana masyarakat kepada Polri agar bisa membiayai kawan-kawan polisi berpiknik ke Pulau Buru? Usulan kedua jauh lebih mulia dan bisa diterima daripada menyumbang buku-buku sejarah dan literatur kekirian untuk dibaca kawan-kawan polisi.
Penegak Hukum Bukan Pembela Fasis
Kasus-kasus pencekalan yang telah disebutkan sebelumnya adalah bukti bahwa kepada siapa aparat penegak hukum kekinian berpihak. HAM yang menjadi tujuan kenapa hukum ditegakkan tidak lagi menjadi landasan moral untuk mengayomi. Moral hukum kekinian yang menjadi andalan penguasa ialah bagaimana mencap sekelompok warga negara sebagai orang-orang yang memiliki kesalahan fatal terhadap negara akibat aktivitas politik atau kebudayaannya di masa lalu. Ini diberlakukan kepada para mantan tapol Pulau Buru, aktivis Lekra, dan mereka yang dicap komunis. Penegakan HAM seakan tidak berlaku bagi mereka.
Selama kaum fasis bekas klan Orde Baru masih membenalu dalam kekuasaan negara, kemungkinan besar alat-alat penegak hukum sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar tidak menjegal kangkangan kuasa mereka. Tidak cukup aparat, kalau bisa merekrut warga sipil untuk difasiskan ke dalam ormas maupun organisasi paramiliter. Memainkan konflik sipil versus sipil, lalu klan oligarki sibuk menghantam klan oligarki lainnya.
Lagi-lagi harus mengutip konsep kekuasaan N. Machiavelli. Analogikan saja ormas fasis tersebut sebagai “tentara bayaran” yang dimaksud dalam buku The Prince. Dikonsepkan bahwa penguasa semestinya lihai dalam mengelola pasukan. Tentara bayaran merupakan jenis pasukan yang sewaktu-waktu bisa digunakan penguasa. Pasukan bayaran memang tidak terlalu setia kepada negara, namun dengan bayaranlah mereka mau bermilitan ria menjadi tameng si penguasa. Kalau dalam buku tersebut, disebutkan bahwa tentara bayaran bisa digunakan dalam berperang untuk menghadapi negara musuh. Namun “musuh” si penguasa di negeri ini tidak harus didefinisikan sebagai orang dari negara lain. Warga domestik pun asal berpotensi menjungkalkan penguasa dari kursinya, bisa dijadikan musuh negara yang wajib diserang tentara bayaran (ormas fasis). Terlebih lagi, dalam catatannya, Machiavelli menyarankan agar bisa menguasai hukum suatu negara maka bikinlah sindikasi oligarki dalam penegakan hukum. Walau belum tentu aparat dan ormas fasis sempat membaca The Prince, tapi setidaknya mereka sudah lihai dalam praktiknya.
Dalam praktik penegakan hukum macam itu, jelas-jelas kepolisian mengkhianati marwah hukumnya sendiri. Dari sekian banyak pasal, bisa dikutip pasal 1 dan 13 No. 22/2012 Tentang Kepolisian bahwa tugas-tugas polisi ialah mengayomi, melindungi, dan menjaga keamanan masyarakat. Menuruti tuntutan pelarangan sebuah acara dari ormas fasis adalah tindakan yang tidak melindungi hak-hak berekspresi sekelompok masyarakat. Bahkan cenderung melestarikan ketidakamanan terhadap mereka yang bernegara secara waras. Dengan begitu, ormas fasis semakin percaya diri untuk mengancam siapapun yang mereka mau.
Bisa dinyatakan bahwa kepolisian mengafirmasi pembenaran kaum fasis di negeri ini. Siapapun yang membela korban pelanggaran HAM, menuntut hak atas hidup, atau meluruskan tragedi sejarah langsung kena cap kiri-komunis. Kemudian yang berlabel kiri atau komunis, halal hukumnya untuk diserang dan dicederai. Sungguh pengecapan yang keji supaya ormas fasis semakin jumawa akan pembenarannya dan klan oligarki bisa terus mengangkang. Kelakuan kepolisian yang terekspos dalam kasus-kasus pencekalan acara merupakan simbol bahwa penegak hukum hari ini begitu siap siaga membela kaum fasis nan oligarkis.
Segera Berpiknik!
Tampaknya cukup untuk membongkar kenapa yang fasis teristimewa haknya di negeri ini sekarang. Kembali lagi membahas usulan dasar dari propaganda ini bahwa kawan-kawan polisi seharusnya berpiknik: ke Pulau Buru!
Soekarno pernah bilang, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Piknik ke Pulau Buru nantinya bisa jadi piknik ke laboratorium sejarah bagi kawan-kawan polisi. Kalau bingung mencari pemandu study tour, kalian bisa mengajak Hersri Setiawan sekaligus Rahung Nasution yang lebih paham sejarah. Diburu di Pulau Buru dan Dalih Pembunuhan Massal bisa menjadi buku panduan study tour kawan-kawan polisi. (Oh ya maaf, berdasarkan saran di awal propaganda ini dituliskan bahwa kawan-kawan polisi tidak perlu membaca buku, nanti malah pikniknya jadi enggak asyik).
Hersri menceritakan dalam bukunya bahwa para tapol saat itu bekerja mati-matian membangun sawah dan ladang namun mereka tidak bisa menikmati hasil kerja kerasnya. Di bawah pengawasan ketat militer, mereka sehari-hari bertahan hanya dengan memakan singkong. Ada beberapa rekannya yang tewas akibat bunuh diri dan menderita penyakit. Memoar-memoar tertulisnya menjadi rekam sejarah yang bisa dipelajari generasi kekinian bahwa kejadian tidak manusiawi pernah menimpa segelintir anak bangsa ini. Bila kawan-kawan polisi ternyata memiliki hasrat kuat untuk membaca memoar-memoar tersebut, tak apalah membacanya sambil berpiknik tapi hati-hati lho nanti malah jadi pemikir tragedi.
Mampir juga ke Desa Savanajaya yang menjadi lumbung padi di sana. Itulah bukti nyata kerja keras para tapol yang dituduh komunis. Sungguh hasil kerja keras mereka begitu berguna bagi sesama manusia dibanding kerja ormas fasis yang sukanya mengumpat orang lain sebagai “komunis”.
Jangan lupa di sana bikin party di tepi pantai dengan menu singkong sebagai camilannya. Putarlah lagu-lagu karya Homicide sebagai pengiring pesta. Nyanyikan bersama-sama dengan kompak dan keras lantunan lirik lagu Puritan.
“Fasis yang baik adalah fasis yang mati…
Fasis yang baik adalah fasis yang mati…
Fasis yang baik adalah fasis yang mati…
Tunggu di ujung jalan yang sama saat kalian mengancam kami!”
Seusai berpiknik dan mulai paham sejarah, kembalilah bekerja mengabdi pada nurani!