“Media umum di Indonesia sebagian besar dikuasai oleh konglomerasi yang punya kepentingan politik sehingga bisa berdampak pada pemberitaan. Pers Mahasiswa sekarang bisa mengisi kekurangan itu,” kata Heyder Affan, salah seorang bekas pendiri Perhimpunan Pers Mahasiswa akhir 1992.
Heyder Affan, atau biasa dipanggil Affan, sekarang sudah menjadi jurnalis profesional, sebagai penyiar di sebuah kantor berita internasional yang berpusat di London. Dulu, dia mulai aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur pada awal 1990-an. Dari kota itu pula dideklarasikan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia atau yang pernah dikenal sebagai PPMI.
Tentu bukan hanya karena tangan Affan seorang PPMI bisa lahir. Ada puluhan aktivis pers mahasiswa dari berbagai kota yang sempat bergabung. Dari Jogjakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta dan sejumlah aktivis dari Sumatera plus Celebes alias Sulawesi ikut urun rembug di kemudian hari.
Kalau mau menengok sejarah pasca kemerdekaan yang dikumpulkan dari berbagai sumber, pers mahasiswa punya musuh yang hampir sama di tiap periode sejak era Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru. Affan mengenang, dirinya sempat kena sweeping pejabat kampus karena menerbitkan tulisan soal “disintegrasi” menjelang kedatangan Soeharto ke Malang untuk meresmikan pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.
“Senior saya yang kebagian dipanggil oleh BAKIN,” kenang Affan.
BAKIN, akronim Badan Koordinasi Intelijen Negara, dibentuk tahun 1967 oleh Soeharto pada awal pemerintahannya.
Sejarah Pers Mahasiswa: kemampuan mengambil celah
Tapi ini bukan cerita soal PPMI atau Affan saja, melainkan cerita tentang getolnya mahasiswa jaman itu yang aktif di unit dan lembaga pers mahasiswa punya semangat bersuara dan berpendapat di rezim Orde Baru.
Karya pers mahasiswa dan terbitannya yang cenderung tidak mendapat banyak tekanan, mungkin pers mahasiswa yang lahir pada periode 1965, seperti Harian KAMMI, Mimbar Demokrasi atau Mahasiswa Indonesia. Tapi bulan madunya dengan Orde Baru juga habis sejak kerusuhan 15 Januari 1974.
Cerita romantisme perjuangan para aktivis pers mahasiswa memang tak habis dan mengikuti jamannya. Selain soal mendapat ancaman karena menjadi media alternatif, ada tantangan lain yang mesti dihadapi, misalnya tantangan logistik dan keuangan untuk mencetak.
Ada memang pers mahasiswa yang untuk terbit saja harus patungan sampai yang sepenuhnya mendapat sokongan.
Sebut saja buletin Pelita Mahasiswa yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa di Universitas Pasundan, Bandung. Buletin yang terbit saban dua bulan sekali pada 1996 itu hasil patungan mahasiswanya. Atau paling banter menadah sisa uang hasil cetak tabloid dari satu lembaga.
Di ujung bawah pulau Sumatera, tepatnya di Lampung ada juga tabloid mahasiswa “Teknokra” tebitan pers mahasiswa Universitas Lampung. Tabloid ini mendapat dukungan dana dari universitasnya, paling tidak jaman pertengahan sampai akhir 1990-an dikenal paling sejahtera di antara aktivis pers mahasiswa Indonesia.
Rata-rata memang karya pers mahasiswa pada kurun 1960 sampai 2000 masih berbasis cetak. Sedangkan sekarang, meski ada yang cetak, tapi sebagian beralih ke online dan radio. Biayanya pun lebih murah tanpa harus patungan ratusan ribu Rupiah, bahkan bisa memanfaatkan jaringan internet gratis untuk mengunggah karyanya ke website.
Belum ada hitungan pasti berapa banyak sebetulnya karya pers mahasiswa di Indonesia sekarang. Paling tidak, nama-nama unit kegiatan di tiap kampus yang dulu tergolong santer, sekarang tinggal sayup terdengar. Sebagian bertahan dengan berpindah ke online dengan generasi yang baru.
Kalau kata Affan, tantangan pers mahasiswa sekarang tentu lebih pada eksistensi setelah era penindasan lewat dan media umum sudah sama galaknya dengan pers mahasiswa dulu, yang berbeda dengan apa yang dihadapi olehnya ketika masih aktif dalam dunia pers mahasiswa.
“Jika di jaman saya dulu mungkin orientasinya keluar, ingin mengisi pers yang tidak bebas, mengisi kebebasan yang tidak dinikmati pers umum.”
Tapi, kini, menurutnya banyak pers mahasiswa yang memiliki pandangan ke dalam.
“Ada banyak pilihan buat pers mahasiswa untuk berorientasi ke dalam, ke isu-isu seputar kampus menyuarakan keluhan sesama mahasiswa agar lebih dibaca,” katanya.
Soal lain yang dikemukakan adalah soal keuntungan untuk tetap menjadi bacaan alternatif. Menurutnya, banyak media umum di Indonesia saat ini sudah dimiliki oleh partisan partai sehingga susah untuk netral.
“Mestinya pers mahasiswa sekarang bisa mengambil celah itu,” ungkapnya.
Tapi menurut Affan, pers mahasiswa saat ini mestinya juga sudah mulai belajar memahami etika dalam membuat karyanya.
“Saya setuju pers mahasiswa sekarang lebih mengedepankan etika, jangan seperti jaman dulu mirip pamflet, selebaran gelap dan opini,” kenangnya.
“Tantangan terbesar adalah bagaimana mereka memetakan kondisi mereka di tengah situasi yang berbeda. Dengan kemampuan mereka bisa memetakan diri mereka sendiri akan membuat mereka eksis dan tidak tergoda untuk kembali ke masa lalu. Berorientasi pada situasi kekinian yang membuat mereka lebih leluasa bergerak, tidak dibebani oleh kebesaran pers mahasiswa pada masa lalu.”
Diterbitkan di Radioaustralia.net.au http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-05-28/pers-mahasiswa-indonesia-dari-jaman-patungan-sampai-gratisan/1136982