Paling tidak tugas dan tanggungjawab pers mahasiswa masih bersangkutpautan dengan komitmennya terhadap realitas sosial empirik yang harus direfleksikan lewat informasi. Saut Hutabarat menegaskan bahwa pers mahasiswa (persma) tidak hanya bermanfaat bagi pembacanya, tetapi juga bermanfaat bagi pengelolanya. Karena manifestasi keberhasilan persma adalah terkawalnya isu untuk membangkitkan kesadaran sosial civil society dan aktor-aktor di persma sendiri.
Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, paling tidak persma sudah harus membenahi diri dalam mengkampanyekan isu. Tidak hanya diinternal kampus sebagai induk semangnya, tetapi jauh lebih dalam serta terjun ke dunia luar. Wicaksono Noerhadi menulis artikel untuk harian Kompas, dimuat pada 11 Mei 1989 dengan judul Pers Mahasiswa Tahun 1950-an Berhasil Menjawab Tantngan Zamannya. Menurut Noerhadi, isi informasi yang disajikan oleh persma sanggup menumbuhkan citra di kalangan pembaca bahwa ia lebih laik dari pers mainstream. Lebih menarik lagi, tidak jarang pers profit mengutip berita dari persma.
Saya mengutip artikel ini bukan sekedar untuk romantistik nan lebai. Jika dianggap kusam, Citra Maudy pada 05 November 2018 menulis laporan di Balairungpress dengan judul Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan, meskipun masih banyak kritikan, tulisan ini tidak hanya direspon oleh UGM tetapi oleh publik bahkan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.
Saya sependapat dengan Ana Nadhya Abrar. Dalam buku Pers Mahasiswa dan Masalah Pengoperasionalisasinya yang ia tulis, Ana Nadhya Abrar berpendapat bahwa keberhasilan Persma media 50-an tidak terlepas dari aktor-aktor persma yang menyadari betul perannya sebagai mahasiswa sekaligus masyarakat yang ikut andil menentukan arah juang republik. Tak pelak, menurutnya, sekecil apa pun persma tetap sebuah lembaga sosial.
Peran Pers Mahasiswa Menjelang Pilpres
Adalah hal yang riskan tetapi layak untuk dibahas. Dimana dan bagaimana peran Persma dalam pergulatan Pemilihan Presiden April mendatang. Sebagian menganggap ini diluar tanggungjawab kepersmaan sebagian yang lain beranggapan, ini merupakan tugas-tugas jurnalistik.
Andreas Harsono dari Yayasan Pantau sekaligus pemerhati persma senada dengan argumentasi terakhir. Persma yang notabenenya sebagai praktisi jurnalisme harus ikut andil agar masyarakat memperoleh informasi yang benar. Benar dalam arti fungsional lebih tepatnya, tanpa harus mundur kemedia 50-an.
“Peranan media, entah media umum atau media khusus (termasuk persma, red) adalah menyediakan jurnalisme. Tujuannya adalah untuk kebenaran fungsional. Ia tentu juga berlaku dalam liputan pemilihan umum,” jelas Andreas.
Andreas turut menambahkan para pemilih juga membutuhkan informasi yang benar sebelum menentukan pilihannya. Dari tingkat terkecil, legislator, sampai presiden dan wakil presiden. Jurnalisme perlu menyediakan kebenaran fungsional tersebut.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme menerangkan, kebenaran fungsional maksudnya adalah sesuatu yang dianggap benar dan bisa direvisi dikemudian hari jika terdapat kekeliruan. Ilmu pengetahuan yang berkembang dan pelajaran-pelajaran di sekolah dapat direvisi ketika ada teori yang lebih kuat. Ini tentu berbeda dengan kebenaran dalam tataran filosofis yang sifatnya lebih kaku.
Ketua Forum Alumni Aktivis (FAA) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Agung Sedayu turut berkomentar. Ia berpendapat kedua kubu calon presiden (capres) berlomba ngecap obral bualan untuk membius publik. Sehingga lahir kelompok-kelompok irrasional yang tidak peduli, apa pun yang yang dilakukan oleh calon yang didukungnya dianggap benar. Lantas Agung menaruh harapan besar kepada Persma agar menjadi alat edukasi publik.
“Tetap sebagai alat eduksi publik, memaparkan fakta dan informasi yang jernih serta mendalam tentang pemilu. Persma mesti bisa mengembalikan kewarasan itu, menyodorkan informasi yang memadai sekaligus kritis sehingga publik memiliki landasan yang kuat dalam menentukan sikap,” paparnya.
Agung turut mengingatkan agar persma harus tetap independen dalam pemberitaan sehingga tidak ikut terjebak dalam dukung-mendukung pasangan calon (paslon).
“Intinya Persma mesti mampu menjadikan publik sebagai pemilih yang waras sekaligus cerdas. Apa pun pilihannya, bahkan jika memilih untuk tidak memilih sekalipun boleh asal didasari oleh kesadaran serta ketercukupan informasi yang benar,” tambah Agung.
Penulis: Rahmat Ali
Editor: Kiky