Penangkapan Muhammad Hisbun Payu atau yang akrab disapa Is oleh rekan-rekan aktivis dan pers mahasiswa pada 4 Maret 2018 lalu, kembali menjadi catatan hitam untuk rezim ini. Dalam kronologi penangkapan dan pernyataan yang dirilis oleh Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Is disergap oleh sepuluh polisi berpakaian sipil yang mengaku dari Kepolisian daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) di depan pintu masuk Alfamidi, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Is diseret paksa dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa menuju arah Depok. Sedangkan seorang rekannya, Syahrul Yaqub, yang ingin menghadang langsung dihalau polisi berpakaian sipil dan tidak ikut dibawa. Sebelum menuju Polda Jateng, polisi membawa Is ke kosan untuk mengambil barang-barangnya.
Selain Is, Sutarno Ari Suwarno dan Kelvin Ferdiansyah Subekti, warga Sukoharjo juga menjadi korban. Pada senin malam (5/3/2018), Sutarno didatangi 5 orang polisi dari Polres Sukoharjo ke rumahnya di Dukuh Bugangin, Desa Lemah Abang, Kecamatan Jumapolo, Karanganyar. Sutarno pun akhirnya dibawa ke mobil polisi dengan kondisi tangan terborgol dan ditutup matanya setelah Sutarno sempat berpamitan pada orang tuanya yang sakit-sakitan. Nasib sama juga dialami Kelvin. Ia dijemput saat sedang tidur di rumahnya, Desa Plesan, Kecamatan Nguter, Sukoharjo dan dibawa menuju Polda Jateng.
Mereka Melawan dan Berjuanng
Warga Sukoharjo yang marah dan kecewa lalu melakukan berbagai aksi karena Wardoyo Wijaya, sebagai Bupati Sukoharjo ingkar janji. Bermula pasca aksi di depan kantor Bupati, 22 Februari 2018, warga dijanjikan bahwa Bupati akan mengeluarkan SK pemberhentian operasi PT Rayon Utama Makmur (RUM) pada 23 Februari. Warga pun memutuskan untuk bergerak ke PT RUM dan menginap untuk menunggu SK dikeluarkan.
SK yang dijanjikan belum dikeluarkan, namun Bupati Sukoharjo justru berangkat ke Bali untuk acara Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan. Karena hal tersebut lalu warga marah dan melakukan aksi blokade pabrik, bakar ban dan pos satpam pada 23 Februari 2018. Hingga sekitar pukul 17.25 WIB, datanglah pihak Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL), Sekretariat Daerah, dan Kesbangpol. Mereka membacakan SK Nomor: 660.1/207 Tahun 2018 tentang “Pemberian Sanksi Administratif dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berupa Paksaan Pemerintah dalam Bentuk Penghentian Sementara Produksi kepada Penanggung Jawab Perusahaan Industri Serat Rayon PT. Rayon Utama Makmur (RUM) di Kabupaten Sukoharjo”.
Rakyat sudah lelah dibohongi. Rakyat sudah lelah disakiti. Pembakaran ban dan pos satpam tetaplah tak sebanding dengan apa yang telah dilakukan PT RUM dengan membuang limbah cair dan gasnya ke lingkungan sehingga menimbulkan pencemaran. Dalam rilis pernyataan sikap Masyarakat Peduli Lingkungan (MPL) dan Sukoharjo Melawan Racun (SAMAR), selama kurang lebih empat bulan, masyarakat Sukoharjo diresahkan oleh bau busuk limbah yang bersumber dari PT RUM. Tidak hanya bau busuk saja yang mengganggu keseharian warga, beberapa warga–terutama anak-anak—ternyata mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Hal ini dibuktikan dari hasil pemeriksaan dokter RS PKU Muhammadiyah Sukoharjo. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, 32 warga terkena ISPA berat, serta 152 warga di Kedungwinong merasakan pusing dan mual. Selain warga Kedungwinong, bau busuk limbah PT RUM ini juga ikut meresahkan warga dari desa Plesan, Gupit, Celep, dan Pengkol.
Bahkan berdasarkan penuturan Sutarno ya dimuat tirto.id, seorang bayi 10 bulan di Dukuh Jayan, Desa Celep, Nguter, bernama Arbani Shakeel Alfatih meninggal akibat pencemaran udara limbah PT RUM. Pada 18 Februari lalu, Tim Independen dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sukoharjo pun melakukan pengecekan kesehatan terhadap limbah di desa Gedonginong dengan analisis sembilan sampel limbah cair PT RUM dari 31 Januari hingga 5 Februri 2018 di Laboratorium Teknik Kimia UMS. Hasilnya, disimpulkan bahwa limbah PT RUM berada di atas ambang baku dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Dua dari tiga parameter limbah cair PT RUM tidak memenuhi ambang baku mutu yakni Total Disolved Solid (TDS) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Satu parameter lainnya yang sudah sesuai ambang baku mutu yakni, PH limbah cair. Tim Independen Muhammadiyah Sukoharjo pun telah menyampaikan hasil penelitian itu ke DPRD Sukoharjo pada 19 Februari lalu. Namun setelah itu, hampir tidak ada tindakan konkret dari Pemkab Sukoharjo untuk menghentikan operasional tersebut. Ini soal NYAWA, bukan hanya pos satpam atau ban bekas yang dibakar massa.
Tuduhan yang Dipaksakan
Baik Kelvin, Sutarno dan Is, hingga rilis ini disiarkan, masih ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolda Jateng. Dalam surat kuasa yang diberikan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, tertulis “Barang siapa dengan sengaja membakar, menjadikan letusan atau mengakibatkan kebanjiran yang mendatangkan bahaya umum bagi barang atau timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan atau barang siapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 (1) dan (2) dan atau pasal 170 (1) KUH Pidana”. Ketiganya terancam hukuman pidana maksimal 15 tahun .
Benarkah ketiganya patut dipersalahkan? Is yang menjadi korban pertama kriminalisasi atas aksi yang dilakukan warga Sukoharjo sesungguhnya baru tiba di lokasi dan pembakaran ban bekas sudah terjadi walau ia sempat ikut menggoyang-goyangkan pagar setelah tiba disana. Sedangkan Sutarno yang juga penasihat Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Sukoharjo menyampaikan jika kondisi massa saat itu memang sudah tak terkendali. Dirinya kemudian dipanggil sebagai perwakilan warga untuk membahas SK yang akan dibuat.
Justru aparat lah yang melakukan aksi represif terhadap masyarakat yang melakukan aksi untuk menuntut haknya. Aksi represif aparat dimulai dengan melakukan penculikan terhadap dua orang warga yang terpisah dari barisan. Berdasarkan kronologi aksi yang dirilis PEMBEBASAN, dua warga yang diambil paksa itu bernama Totok dan Subakti. Totok merupakan siswa kelas 2 SMP, sedangkan Subakti merupakan berusia sekitar 20 tahun. Tak hanya ditarik secara paksa, keduanya juga mengalami penyiksaan. Totok bahkan mengaku dicekik dan ditampar oleh polisi sambil diseret menjauh dari barisan massa, masuk ke tempat yang sulit diketahui oleh massa lainnya. Totok dan Subangkit menyatakan bahwa mereka bersama satu orang lain yang tidak diketahui identitasya disekap oleh tentara sambil diikat. Tindakan pemukulan dan penyekapan oleh polisi dan tentara itu pun berhasil direkam warga.
Hukum memang harus ditegakkan. Namun nyatanya masih saja tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Ini terlihat dari betapa sigapnya aparat menangkap warga, sementara laporan atas tindak pidana pencemaran lingkungan yang dilakukan PT RUM tampak tak ditindaklanjuti. Aparat terlihat abai. Padahal berbagai bukti pelanggaran atas pencemaran yang dilakukan telah mengemuka, termasuk turunnya SK Bupati Sukoharjo No. 660.1/207 Tahun 2018 yang diterbitkan pasca kekacauan dengan sebagai sanksi administratif dan pemberhentian sementara proses produksi PT RUM.
Bukan Hanya Is
Kabar penangkapan Is dan dua warga Sukoharjo, kami pandang sebagai praktik kriminalisasi yang dipertontonkan untuk kesekian kalinya oleh para korporat yang perusahaannya ditengarai melakukan pengrusakan lingkungan dan merugikan masyarakat. Mereka (perusahaan) berada diposisi terpojok atas aksi yang dilakukan oleh masyarakat dan seakan melakukan segala cara untuk meredam protes. Berdasarkan catatan kami dan mengacu dari beberapa analisis yang dilakukan LBH Semarang, kami melihat upaya kriminalisasi aktivisd dan masyarakat pejuang lingkungan kembali terjadi.
Pertama, menyoal tertundanya pemberian Salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan turunnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) serat BAP Penangkapan, baik kepada Is, Kelvin dan Sutarno maupun kepada LBH Semarang selaku kuasa hukum.
Selain itu, anggapan Kapolda Jawa Tengah yang menyatakan bahwa ketiganya adalah provokator atau otak dibalik kekacauan aksi di PT RUM juga perlu adanya bukti yang jelas. Is yang baru tiba di lokasi saat kekacauan telah terjadi walau sempat ikut dalam aksi dan Sutarno yang berposisi sebagai penasihat dan ikut dalam pembicaraan mengenai SK Bupati dengan Muspida Sukoharjo tak menunjukkan bahwa mereka adalah provokator. Massa jadi tak terkendali saat itupun diakibatkan kemarahan warga atas Bupati yang ingkar janji dan sikap represif aparat kepada massa aksi. Pencemaran lingkungan yang jelas merugikan warga hingga sikap abai aparat penegak hukum dan Bupati yang ingkar janji atas tindak pencemaran lingkungan yang dilakukan PT RUM lah yang sebenarnya menjadi penyebab kekacauan yang terjadi. Dan ternyata malah menjadikan warga serta aktivis lingkungan sebagai tersangka.
Pencemaran lingkungan dan upaya kriminalisasi yang dialami Is, Kelvin dan Sutarno kembali menambah panjang catatan hitam dalam konteks pelanggaran Hak Atas Tanah di Indonesia. Kontras mencatat, kasus pencemaran lingkungan menjadi yang paling banyak terjadi sepanjang tahun 2017 dengan 95 kasus. Disusul okupasi lahan sebanyak 71 kasus, Intimidasi 38 kasus, pengrusakan 32 kasus, kriminalisasi 31 kasus, bisnis keamanan dan penganiayaan 20 kasus, penangkapan sewenang-wenang 14 kasus serta beberapa kasus lainnya.
Menyoal kriminalisasi, secara garis besar motifnya adalah untuk merugikan korban secara tidak sah atau tidak patut. Apa yang terjadi selama ini terhadap para pejuang lingkungan seperti warga Sukoharjo, Kendeng dan Tumpang Pitu menunjukkan jika kriminalisasi juga ditujukan untuk menghalang-halangi aktivitas korban, teror, hingga motif ekonomi politik kepentingan korporasi dan pemerintah.
Oleh karena itu, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia menyatakan mengecam segala bentuk kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan upaya pelanggaran Hak Atas Tanah dan menuntut agar Muhammad Hisbun Payu, Sutarno Ari Suwarno dan Kelvin Ferdiansyah Subekti DIBEBASKAN dari segala tuntutan hukum. Kami mengajak seluruh rekan pers mahasiswa se-indonesia untuk bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat dan organisasi sevisi yang peduli terhadap isu lingkungan dan hak asasi manusia untuk mengawal dan menyuarakan upaya kriminalisasi yang terjadi dalam proses perjuangan masyarakat.
Mari suarakan dan lawan!
Salam Pers Mahasiswa!
Narahubung:
Imam Abu Hanifah (BP Advokasi PPMI: 085604903135)
Irwan Sakkir (Sekjend PPMI: 081248771779)
*data diperoleh dari PPMI DK Semarang, PEMBEBASAN, LBH Semarang, WALHI Jateng ,tirto.id dan KontraS