Penggembosan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat masih saja mencuat dalam dinamika berbangsa dan bernegara. Sebagai Negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan nilai-nilai HAM, fenomena sumbat-menyumbat kebebasan berekspresi dan berpendapat terhadap warga Negara menjadi ironi tersendiri. Pembredelan dan pemutihan media mahasiswa baru-baru ini yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, LPM Aksara di Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Trunojoyo di Madura, serta LPM UKPKM Universitas Mataram merupakan tindakan yang jauh dari pijakan HAM.
Tidak berlebihan jika pembredelan dan pembekuan LPM cenderung merupakan bentuk Kriminalisasi terhadap Pers Mahasiswa. Istilah kriminalisasi memang cenderung terhadap hal-hal yang bersifat yuridis, yakni peenggunaan kewenangan penegakan hukum dengan itikad buruk. Namun kriminalisasi disini bisa dilekatkan pada bentuk pemanfaatan wewenang oleh birokrasi kampus dalam mengeluarkan regulasi secara sepihak (aturan kampus) yang menjurus pada pemutihan lembaga kemahasiswaan (LPM) dan sampai pada tataran intervensi terhadap ranah keredaksian yang berujung pembredelan.
LPM Lentera UKSW Salatiga sendiri dibredel pada tanggal 16 Oktober kemarin dengan alasan pemberitaannya yang resisten terkait seputar dinamika pelanggaran 1965-1966 dengan tema :”Salatiga Kota Merah”. Bahkan pembredelan majalah Lentera bukan hanya dilakukan oleh pihak Dekan Fiskom UKSW, melainkan turut andil juga pihak Polres Kota Salatiga yang melakukan upaya pemanggilan tidak melalui prosedur yang ada. Ancaman Pemberedelan pun dialami oleh LPM Aksara yang beralasan karena tidak menjaga nama baik Fakultas Ilmu keislaman (FIK) Universitas Trunojoyo. Pemberitaan mengenai FIK yang dilakukan oleh LPM Aksara diasumsikan sebagai bentuk penyebaran aib FIK. Pada tanggal 30 September, intervensi kelembagaan dimasifkan terus oleh pihak DPM FIK terhadap LPM Aksara. Nasib tidak beruntung pula terjadi di LPM UKPKM di Mataram. Pembekuan lembaga ironisnya langsung didalangi oleh pihak rektorat dengan alasan pemberitaan LPM UKPKM yang tidak sesuai dengan visi kampus Unram
Selain itu, pembekuan LPM pun terjadi di Makassar yang sampai saat ini masih ibarat benang kusut. LPM Watak STIEM Bongaya yang dibekukan sejak tahun 2007 karena dianggap terlalu kritis, LPM Metanoiac PNUP yang dibredel sekaligus dibekukan pada tahun 2011 yang pada ssaat itu memberitakan mengenai kasus korupsi di Rektoratnya, serta LPM Estetika fakultas Bahasa dan Sastra UNM yang dibekukan sejak tahun 2012 oleh pihak fakultas.
Fenomena-fenomena miris ini merupakan satu bentuk kemunduran demokrasi. Dalam sistem demokratis, pers diberedel atau dibekukan itu tidak lazim. Praktik itu hanya ada dalam sistem otoritarianistik. Kebebasan dan keterbukaan informasi merupakan anak kandung dari reformasi yang harus terus diupayakan. Kebebasan pers mahasiswa sebagai bentuk upaya dalam mewujudkan cita-cita demokrasi, yakni pendistribusian informasi kepada publik diakomodir dalam Instrumen HAM, seperti Pasal 19 DUHAM, Konvensi hak Sipil Politik, serta UU No 39/1999 tentang HAM. Pembredelan dan pembekukan LPM juga sangat jauh dari spirit Konstitusi kita sebagai hukum tertinggi di Republik ini sebagaimana pada pasal 28 E ayat (3) yang mengatur tentang hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Maka dari itu, kami dari Lembaga Pers Mahasiswa Se-Makassar yang bernaung dalam Perhimpunan Pers mahasiswa Indonesia DK Makassar menyatakan:
- Lawan Setiap Tindakan Pembredelan Pers Mahasiswa
- Jamin Kebebasan Pers Mahasiswa
- Tolak Intervensi Kampus Terhadap Lembaga Pers Mahasiswa
Makassar, 13 November 2015
Narahubung:
Irwan Sakkir, Sekjend PPMI DK Makassar +62 852-5576-9004
Abdus Somad, Sekjend PPMI Nasional, +62 812-2654-5705