Lagi, demokrasi Indonesia ternodai setelah aksi pembubaran yang dilakukan oleh sekelompok ormas yang menamai dirinya dengan Pemuda Pancasila, terhadap pameran karya Andreas Iswinarto yang bertemakan “Aku Masih Utuh dan Kata-Kataku Belum Binasa”, kemarin (08/05). Pameran tersebut dilaksanakan di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) mulai 8 hingga 11 Mei 2017.
Acara tersebut diselenggarakan untuk memperingati hari pers nasional. Rencananya panitia akan mengadakan diskusi tentang kebebasan pers di Indonesia. Tapi terlebih dahulu menggelar pameran lukisan karya Andreas.
Andreas Iswinarto mengakui ia sengaja memilih tokoh Wiji Thukul untuk dipamerkan dalam acara tersebut, karena puisi wiji dianggap masih relevan. “Aku sebaya dengan Wiji Thukul tapi aku tidak pernah bertemu. Tapi aku membaca karyanya dan aku tertarik dengan karyanya. Wiji Thukul adalah suara otentik dari Kaum miskin itu. Karena dia hanya lulus SMP, sempat di SMK. Dia pernah jadi pekerja, jadi buruh Plitur, artinya dia adalah suara otentik dari rakyat.” katanya
Pameran karya tersebut digelar untuk memberikan pemahaman kepada khalayak luas tentang karya Wiji Thukul, sebagai follow up dari film istirahatlah kata-kata yang sambutannya cukup antusias. Andreas memilih tanggal 1 dan 8 Mei untuk pelaksanaan pameran di Semarang dan Yogyakarta. Hal tersebut dengan alasan, karena pada tanggal 1 itu May Day tercatat sebagai perjuangan buruh ketika, Wiji memimpin Serikat Buruh Tekstil untuk melakukan unjuk rasa. Saat itu Wiji mendapat pukulan keras dari tentara yang menyebabkan mata kanannya tidak bisa melihat, dan telinga kanannya sulit mendengar. Sedangkan, tanggal 8 adalah tanggal meningalnya marsinah.
“Catatan juga Mei itukan sembilan belas tahun reformasi, tapi sembilas tahun juga hilangnya Wiji, karena secara official dia hilang itu sekitar awal Mei, saat sebelum Suharto turun, memang dia yang tertangkap dari 13 aktivis buruh, kemungkinan dia yang paling akhir.” jelas Andreas
Andreas menambahkan, saat pameran tersebut diselenggarakan di Semarang, juga mendapat intimidasi. Bahkan acara yang dijadwalkan mulai pada tanggal 1 harus bergeser menjadi tanggal 3 Mei karena pihak gedung mencabut izin. Ternyata di Yogyakarta diskriminasi terhadap karyanya kembali terjadi.
“Sebenarnya beberapa karya diambil, saya dan beberapa teman ngotot menarik karya itu. Aku berhasil merebut beberapa kali, makanya aku beberapa kali aku disiku dan di didorong bahkan dicekik, karena aku berusaha mempertahankan karya itu. Untungnya semua karya bisa di rebut, kecuali ada 5 poster (yang dirampas, red).” ungkap Andreas.
Dilansir dari Detiknews, ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila DIY, Faried Jayen, mengakui bahwa memang pihaknya yang melakukan pembubaran acara ini, karena dianggap tidak memiliki izin. “Kami indikasikan acara ini berbalut dengan gerak anak turun komunis, kami bukannya tidak boleh. Kami ingatkan ada izin, tidak ada izin juga dari polisi.” imbuhnya.
Direktur PUSHAM UII, Eko Riyadi mengatakan tidak ada ketentuan (undang-undang, red) di negeri ini yang mengharuskan diskusi memiliki izin. Menurutnya demonstrasi saja tidak memerlukan izin, cukup sekedar pemberitahuan saja.
“Pusham itu seminggu tiga kali diskusi semacam ini. Ini kan institusi kampus, nggak ada ketentuan di negeri ini mengatakan diskusi harus minta izin. Demonstrasi saja tanpa izin kok, hanya pemberitahuan, apalagi diskusi, itu ngaco.” Ungkap Eko
Eko berharap, kejadian serupa tidak terjadi lagi. Baginya Yogyakarta adalah kota dunia, yang seharusnya juga berbanding lurus dengan kebebasan ruang publik. “Sebenarnya ini menyedihkan, peristiwa ini kan bukan yang pertama. Saya berharap keseriusan dari kepolisian dan pemerintah daerah. Untuk memastikan kejadian serupa tidak terjadi lagi. Memalukan Jogja sebagai ruang terbuka bagi publik. Jogja ini bukan kotanya orang sini (saja, red), tapi kotanya dunia.” katanya.[]