Tak ada gelora apa-apa saat saya menyaksikan parade tentara pemanggul senjata di pertontonkan di layar kaca. Menaikan selembar kain, berterika-teriak, lalu sudah. Seolah gelora nasionalisme ini yang mampu diabadikan sebagai “pahlawan” bangsa.
Ketika orang-orang dengan gempita menyambut tujuh satu umur negara ini, sayup-sayup “terdengar” pekik “merdeka” dari kuburan-kuburan tanpa nisan, ruang-ruang penyiksaan, dasar-dasar sungai di Jawa-Sumatra, sampai mereka yang ter(di)buang di negeri asing. Saya kira, justru pekik merekalah yang lebih mampu menaikan gelora untuk memaknai kembali apa itu “merdeka” bagi mereka yang ter(di)singkir(kan). Daripada gegap gempita mereka yang mewarnai linimasa.
Ingar-bingar dan harapan akan kemerdekaan memang dimunculkan setiap tujuh belas Agustus, seolah harapan akan kemerdekaan akan purna seketika. Namun, harapan itu muskil jika melihat wajah-wajah sayu mereka yang dihempaskan paska pagebluk 1965.
Setelah tragedi 1965 meletus, ribuan orang-orang Indonesia tidak bisa pulang kembali ke Tanah Air. Tahun 1960 sampai 1964 adalah masa di mana Sukarno secara besar-besaran mengirim pemuda-pemudi Indonesia ke luar negeri untuk belajar. Selain menempuh pendidikan di perguruan tinggi, ada pula mereka yang menjalankan tugas diplomatik, wakil di organisasi internasional, atau anggota kontingen kebudayaan.
Pagi-pagi buta ketika tujuh jenderal diculik lalu dibunuh merupakan perubahan besar arah politik dan merupakan momentum besar untuk mereka. Seluruh elemen kiri di atas tanah di bumi ini ditumpas. Baik yang ada di bumi Indonesia maupun mereka yang ada di belahan bumi lain. Mereka yang berada luar negeri mendadak menjadi orang buangan. Paspor dan hak-hak kewarganegaraan mereka dicabut.
Puncak pembuangan anak negeri ini terjadi pada tahun 1966. Suharto, bersama tentara-tentara pemanggul senjata yang sebenarnya tak pernah memenangi perang itu, mendata ulang mereka yang ada di luar negeri. Opsinya cuman dua untuk kembali ke Indonesia: menyetujui Suharto sebagai pemimpin Indonesia yang sah atau menolak. “Pilih Suharto atau Sukarno, ya saya jawab ‘Sukarno,” terang Samardji, eksil yang mendapat beasiswa ke Beijing tahun 1964.
Sumardji dan mereka yang pergi sebelum 1965 merupakan bintang bangsa waktu itu. Mereka tumbuh sebagai pembela Sukarno paling gigih. Terdidik di Sekolah Tinggi/Universitas ternama di penjuru dunia. Dan diharapkan mampu menjadi think tank bangsa untuk pembangunan Semesta Berencana Presiden Sukarno.
Bagi pemerintah Orde Baru, mereka sama sekali tak dianggap. Dikutuk dan dihujat. Kutukanya bahkan dijaga melalui berbagai instrumen kebudayaan dan politik. Walaupun mereka menyandang gelar sarjana di universitas beken luar negeri pun tak ada gunanya sama sekali.
Melalui Melawan dengan Restoran, Sobron Aidit, mengkisahkan bagaimana memperjuangkan hidup dengan sesama kawan-kawan eksil. Berbagai kesulitan mereka tanggung selama menghidupi hidupnya sendiri itu. Bahkan, kesulitan muncul dari orang Indonesia sendiri: Kedubes RI di Paris. Mulai larangan dari Kedubes bagi orang Indonesia untuk makan di restoran Sobron sampai tindakan-tindakan intimidasi oleh intelejen yang dikirim pemerintah Indonesia.
Menurut Ari Junaedi yang pernah “melihat” para eksil untuk desertasi guna meraih gelar Doktor di Universitas Padjajaran, banyak mereka yang bertaruh di gelanggang mempertaruhkan hidup yang sampai akhir hayat masih hidup amat sederhana dan sendirian tanpa keluarga.
Di gelanggang mempertahankan hidup itu, mereka melakukan apa saja. Menjadi tukang bersih-bersih di studio teater, mendirikan warung makan, sampai menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan otomotif sampai televisi. Dalam setiap memoarnya, seakan mereka mengarungi hidup yang sangat asing di saat mereka bebas melakukan apa saja. Kesenderian dan kesepian merupakan teman untuk melupakan masa lalu yang begitu ruwet.
Dalam beberapa film tentang mereka yang dihempaskan itu, tak mampu mereka membayangkan bagaimana nanti mereka dijemput ajal. Mereka mungkin sadar, proses itu di luar jangkauan kodrat mereka untuk menjawab: akan di mana mereka dikebumikan.
Dalam beberapa kesempatan, rasa cinta pada bangsa ini pun sudah teguh sampai mereka berkalang tanah. “Rindu” seakan jadi picu pelatuk untuk menggambarkan kehidupan yang telah direnggut beberapa tahun silam. Saya nukilkan cerpen Martin Aleida di salah satu cerpenya tahun 2010, Melarung Bro di Nantalu,
“Kalau kami mati, kami ingin dikuburkan di daratan Nantalu, di hulu sungai ini, di mana hutan tak mengenal tepi. Kami merasa tak nyaman dengan pekuburan umum, yang membuat kami terus-menerus merasa dikejar-kejar perasaan bersalah, karena membiarkan orang tua kami menjalani istirahat penghabisan dengan ancaman banjir dan limbah rumah tangga yang amis.”
“Angan-angan mereka adalah sebuah istirahat kubur yang damai di bawah langit biru di lingkungan hutan hujan. Betapa bahagianya kami nanti dari dalam liang lahad bisa menyaksikan air yang menderu tak habis-habisnya, berebutan jatuh meluncur membasuh tebing. Akangkah nikmatnya menyaksikan hablur air yang deras menghanyutkan jutaan kiambang buih ke Selat Malaka, meninggalkan jejak pelangi di pucuk-pucuk pohon”
Tetapi, apa mau dikata, cita-cita yang sudah berusia lebih setengah abad itu hanyut sudah di tangan tentara pemanggul senjata. Lantaran, setiap kali mereka menerima amplop surat, pasti amplop lelayu. Satu per satu kaum terusir ini mati.
Sepeti sajak yang di garap Chairil, bahwa mereka yang berkalang tanah sudah muskil teriak “merdeka”. Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apa / Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata, kaulah sekarang yang berkata.
Tabik!