Menguak Kondisi Buruh di Pabrik Es Krim AICE 

0
5407
Menguak Kondisi Buruh di Pabrik Es Krim AICE 
Menguak Kondisi Buruh di Pabrik Es Krim AICE 

Kalian sering mendengar kalimat Have an Aice Day, buatlah harimu sehat dan indah dengan es krim Aice? dan sering menghabiskan perlahan-lahan potongan es krim Aice di siang hari? Namun ternyata, di balik harganya yang murah dan digemari banyak orang itu terdapat penderitaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap buruhnya. Rasa yang nikmat bukan berarti nasib buruhnya juga ikut sejahtera. 

Kasus perburuhan ini mencuat ke publik setelah ratusan buruh di pabrik es krim Aice, PT. Alpen Food Industry (PT. AFI) melakukan mogok kerja sejak tanggal 21 Februari 2020 lalu. Pabrik yang terletak di kawasan M2100, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat merupakan anak perusahaan dari Aice Group Holdings Pte, Ltd asal Tiongkok yang berinduk di Singapura.

Mogok kerja 600-an buruh ini dipicu dari gagalnya perundingan dengan pengusaha Aice pada tahun 2019 lalu. Perundingan menuntut terkait perbaikan kondisi kerja di pabrik dan sejumlah masalah lain itu buntut tak ada penyelesaian. Masalahnya adalah buruh telah resah atas kondisi kerja di pabrik yang diskriminatif dan eskpolitatif.  

Pabrik yang banyak menyabet penghargaan, salah satunya sebagai Excellent Brand Award pada 2017 dan menjadi sponsor utama di Asia Games 2018 ini memeras keringat kaum buruh tanpa perduli kesehatan mereka. Melansir keterangan pers dari Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) di situs fsedar.org, menyebut setiap hari buruh harus bekerja dalam bahaya keselamatan. Menghirup gas amonia yang bocor, kondisi kerja tidak sesuai standar K3, kerja di bawah tekanan dan harus mengejar target, upah dimurahkan, dan sering dikriminalisasi bagi buruh yang berserikat.

Masalah lainnya adalah terkait penggunaan buruh kontrak dan alih daya atau outsourcing, bonus dibayar dengan cek kosong, sulitnya mengambil cuti bagi perempuan, hingga buruh perempuan kerja kena shift normal – pagi, siang, dan malam – setiap seminggu sekali putar. Sehingga ada dugaan meningkatnya kasus keguguran dan kematian bayi pada 2019 lalu hingga awal 2020 ini sebanyak 21 kasus dari total 359 buruh perempuan yang bekerja.

Keguguran dan kematian bayi jadi isu utama yang dialami buruh di PT. AFI. Ada beberapa buruh perempuan yang bahkan keguguran dua kali, lalu dipecat dari pekerjaan dengan alasan karena ikut mogok. Parahnya lagi, pengusaha mengklaim kasus keguguran dan kematian bayi adalah akibat dari buruh berhubungan seks selama tri-semester pertama, bukan kerja shift malam. Cuti haid nyaris tidak dapat diambil sama sekali, bahkan dianggap penyakit karena pekerja harus mendapatkan izin dari dokter klinik perusahaan untuk mendapatkan cuti haid. Dokter klinik biasanya tidak memberikan izin cuti haid, tetapi obat penghilang rasa sakit.

Buntut Tak Menentu

Masalah-masalah ini telah dilaporkan ke berbagai instansi pemerintahan sejak 2019 lalu, namun hampir sebagian besar belum ada progresifitas atas penyelesaiannya. Buruh justru mendapat intimidasi berupa teror, diberikan sanksi berupa surat peringatan, demosi, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tercatat, sudah ada sekitar 81 buruh yang mendapat surat PHK.

Mogok yang digelar buruh pun diklaim pengusaha sebagai mogok tidak sah dengan dalih tidak ada risalah deadlock. Padahal buruh sudah memenuhi seluruh ketentuan serta syarat mogok yang sah akibat dari gagalnya perundingan yang sudah berlangsung sebanyak 5 kali selama 30 hari namun tidak ada i’tikad baik pengusaha.

Pengusaha justru tidak memahami frasa “mengalami jalan buntu” sebagai suatu kondisi dihasilkan ketidak-sepakatan dalam perundingan. Definisi perundingan gagal dalam Kepmenakertrans Nomor 232/2004 dan UU Nomor 2 Tahun 2002 telah dijelaskan secara gamblang dalam pendapat-pendapat hukum yang diberikan serikat buruh kepada pihak pengusaha.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, bahwa pemogokan yang memenuhi ketentuan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan tidak boleh dikenai tindakan balasan dari pengusaha. Seluruh prosedur dalam Pasal 140 telah dipenuhi buruh dengan memberikan pemberitahuan kepada Disnaker dan Pengusaha, tujuh hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan dan format surat pemberitahuan tersebut telah sesuai dengan Pasal 140.

Terkait masalah penurunan upah, buruh punya acuan dan melakukan protes karena pengusaha mengubah Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia (KBLI) 1520 atau makanan terbuat dari susu menjadi KBLI es krim, yang awalnya menggunakan upah sektor II menjadi Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Bekasi. Bila dihitung menggunakan UMK 2019, buruh justru kehilangan upah sebesar Rp. 280 ribu. Terkait skala upah, buruh juga telah menawarkan formulasi skala upah yang selisih dengan UMK karena PT. AFI tidak memiliki skala upah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.1 Tahun 2017 bahwa perusahaan dapat menghitung upah seorang pekerja berdasarkan sistem jejaring dan kompensasi yang transparan agar hubungan antara perusahaan dan pekerja harmonis. Namun tak seluruhnya diindahkan perusahaan.

Sementara, di catatan serikat juga ada 22 buruh di pabrik Aice dipekerjakan sebagai pekerja kontrak yang justru bertentangan dengan Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepmenakertrans Nomor 100 Tahun 2004, karena buruh dipekerjakan di bagian produksi bersifat tetap bersama dengan karyawan tetap.

Selain kisruh tak berkesudahan dengan pengusaha, buruh juga harus menghadapi kebijakan-kebijakan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Bekasi, Jawa Barat yang cenderung sepihak dalam pengambilan keputusan. Instansi yang harusnya netral (jika tidak bisa independen dalam arti sesungguhnya) malah mengeluarkan anjuran tanpa mendengar aspirasi dari kelas buruh dan memilih mengakomodir kepentingan pengusaha. Laporan pelanggaran-pelanggaran itu juga dilayangkan ke UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II Jawa Barat terkait K3 dan kondisi buruh perempuan hamil di pabrik, namun sangat lamban menanggapinya.

Berkali-kali buruh memprotes dan meminta agar mediator dari Disnaker dan pengawas dari UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan diberi sanksi dan digantikan. Harus ada peningkatan pengawasan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial itu, namun selalu nihil hasilnya. Buruh juga mendatangi kantor pusat pabrik Aice di Jakarta, meminta penanganan intens dari Kementerian Ketenagakerjaan dan tindakan konkret dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), namun sama saja.

Hingga, situasi Indonesia digemparkan dengan pandemi Viruscorona Decease (Covid-19), nasib buruh yang mogok malah semakin menderita tanpa tunjangan hidup, tanpa kepastian kerja, tanpa kepedulian pemerintah, dan hidup terombang-ambing. Dan justru pemogokan yang digelar hampir sebulan itu harus dibubarkan aparat keamanan pada Kamis (26/3/2020) lalu, dengan dalih mencegah penyebaran Covid-19. Bagaimana lagi dengan nasib ratusan atau bahkan ribuan buruh lainnya yang masih bekerja. Jadi rupanya buruh yang di dalam pabrik itu harus bekerja memenuhi target produksi dengan menghiraukan keselamatan mereka.

Hak-Hak Buruh Dalam Regulasi yang Harus Dipenuhi

Perselisihan antara buruh dan pengusaha di pabrik es krim Aice tidak sekedar masalah upah, namun lebih dari itu. Ini adalah masalah kemanusiaan yang sengaja diabaikan oleh pengusaha dan kekuasaan. Perlakuan sewenang-wenang terhadap buruh dan penanganan kasus yang berbelit-belit menjadi cermin buruk situasi hukum perburuhan di Indonesia.

Jaminan terhadap kelayakan hidup, kesehatan dan keselamatan kerja, hak mogok kerja, hak berserikat dan menyampaikan pendapat yang sudah diatur dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Kepmenakertras Nomor 232 Tahun 2003, dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 183 masih saja di-preteli dengan menganggap remeh hak-hak buruh tersebut.

Alih-alih peraturan-peraturan ini menjadi perlindungan kaum buruh, menjadi sandaran kaum buruh untuk menuntut hak-haknya justru malah menyulitkan buruh.

Bila ditinjau lagi, misalnya dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan jelas ancaman pidana bagi perusahaan/pengusaha yang menghalang-halangi buruh melakukan mogok kerja. Pasal 143 menegaskan siapapun dilarang menghalang-halangi mogok kerja yang sah, tertib dan damai. Pasal 144 UU Ketenagakerjaan juga melarang pengusaha mengganti buruh lain di luar perusahaan ketika buruh sedang melakukan mogok dan akan dikenai sanksi.

Ini artinya, buruh/serikat buruh yang melakukan mogok kerja tidak boleh diintimidasi ataupun dikriminalisasi dengan alasan tanpa dasar hukum. Pengusaha yang kedapatan atau diketahui menghalang-halangi mogok kerja yang dilakukan, berdasarkan Pasal 185 ayat (1) jo. Pasal 143 UU Ketenagakerjaan, perbuatan tersebut melawan hukum alias pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan membayar denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 400 juta.

Pelanggaran terhadap Pasal 144 UU Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 187 UU Ketenagakerjaan, dapat dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 10 juta dan paling banyak Rp. 100 juta.

Selain itu, misalnya kasus buruh perempuan juga harusnya mendapat hak yang sama, dan tidak boleh diintimidasi, apalagi dalam kondisi hamil dan sedang menuntut perbaikan kondisi kerja sebagai konsekuensi dari bobroknya kondisi kerja. Pengusaha di pabrik Aice, dengan banyak alasan secara sporadis mengabaikan jaminan bagi perempuan, yang justru kontradiktif dengan undang-undang. Hak-hak maternitas buruh perempuan hamil dalam Konvensi ILO No. 183 dengan tegas menjamin hak tersebut. Baik itu cuti haid, hamil, melahirkan bahkan hingga menyusui dan mendapatkan upah yang layak. Demikian dengan UU Ketenagakerjaan, hak cuti bagi perempuan dengan upah terus dibayar (Pasal 82) dan memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.

Selain itu, selama masa kehamilan, Pasal 76 ayat (2) menjelaskan bahwa buruh perempuan hamil dilarang bekerja pada malam hari karena dapat membahayakan bagi kandungannya. Apalagi sampai kerja malam dengan kerja target dan beban kerja yang berat. Ini juga ditegaskan dalam BAB XA Hak Asasi Manusia, Pasal 28 mengatakan seorang buruh perempuan, terlepas dari status kerjanya, berhak mendapatkan perlindungan, berhak mendapatkan rasa aman dan dilindungi dalam menjalankan hak-hak asasinya, sekaligus terbebas dari segala bentuk perlakuan tidak adil atau diskriminatif.

Dukungan Solidaritas Kita

Perlakuan kesewenang-wenangan terhadap buruh di pabrik Aice adalah contoh konkret bagaimana penindasan terhadap kelas tertindas, tidak berdaya, dan lemah berlangsung begitu masif. Masalah di pabrik Aice hanyalah puncak gunung es dari sekian perselisihan di sektor perburuhan. Kita bisa melihat, belum saja ada Omnibus Law RUU Cipta Kerja saja nasib buruh Aice sudah begini, bagaimana jadinya bila Omnibus Law ini disahkan. Makin rumit dan makin sengsara kaum buruh dan kaum miskin lainnya dalam menuntut kesejahteraan.

Sebab itu, penindasan dan perlakuan terhadap buruh di pabrik Aice harus dihentikan. Pengusaha harus menjamin kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja kaum buruh sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan pemerintah dalam hal ini pihak Disnaker Bekasi harus tegas dan tidak tanggung-tanggung dalam menindak pengusaha.

Penindasan terhadap upah, kriminalisasi terhadap serikat, perlakuan tidak manusiawi terhadap pekerjanya, menjadi cerminan buruk demokrasi di Indonesia yang masih menghamba pada sistem ekonomi kapitalisme. Karena itu, perjuangan kaum buruh di pabrik Aice harus bertransformasi menjadi perjuangan terhadap kemanusiaan, harus juga menjadi kekuatan solidaritas dari berbagai sektor untuk memperbaiki sistem sosial ekonomi yang timpang ini.