Lara Nasionalisme

Mereka pikir, bisa menakutkan rakyat yang tak punya kekuasaan dengan melakukan kekerasan. Mereka pikir, orang kritis tak punya rasa nasionalisme sehingga kerap di kriminalkan.

0
471
Upacara pengukuhan Paskibraka 2016 (Dokumentasi Setkab RI)

Rabu pagi kemarin, pemangku kepentingan merayakan 71 tahun Republik Indonesia merdeka. Merdeka dari penjajahan, merdeka dari penindasan, merdeka dari ketidakbebasan, merdeka dari pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh bangsa penjajah, dan merdeka dari banyak hal.

Kemerdekaan yang diproklamasikan Soekarno 17 Agustus 71 tahun silam itu menjadikan bangsa Indonesia berdaulat. Diakui bangsa internasional secara de facto dan de jure. Undang-Undang Dasar 1945 yang disebut sebagai suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa Indonesia pun dijadikan dasar negara ini. Semua hukum yang dibuat kemudian tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Rabu pagi kemarin, setiap lembaga negara Republik Indonesia yang tersebar di 34 provinsi kembali membaca Undang-Undang Dasar 1945 pada upacara kemerdekaan. Pembacaan undang-undang itu dipastikan didengar seluruh peserta upacara karena dibacakan dengan pengeras suara. Diiringi lagu Indonesia Raya, bendera merah-putih pun dinaikkan hingga puncak tiang. Semua orang menjunjung, memberi hormat.

Cukup sampai di situ, semua orang menaruh hormat pada bendera, pada bangsa, yang dirangkum dalam kata nasionalisme. Kata Tentara Nasional Indonesia, “NKRI Harga Mati!”. Para pejabat mungkin tak punya semboyan baku untuk lukiskan rasa nasionalisme, tapi mereka sering berkata kepada khalayak, “saya berbuat untuk bangsa dan negara.” Semua pemangku kepentingan bilang cinta bangsa. Semua demi negara. Kalaupun rakyat tersakiti biarlah, karena semua demi bangsa. Tapi, apalah kehebatan sebuah bangsa tanpa kekuatan rakyat? Nanti akan saya sebutkan betapa hak rakyat dikangkangi nasionalisme salah tempat.

Pernahkan Engkau menghafal Undang-Undang Dasar 1945? Saran saya jangan. Renungkanlah arti Undang-Undang Dasar 1945. Karena setelahnya, Engkau akan tahu munafiknya pejabat pengkata nasionalisme yang bertindak di luar batasnya. Sekarang, bukalah Undang-Undang Dasar 1945 dan baca kembali.

Undang-Undang Dasar 1945 berbicara mengenai kemerdekaan yang bebas dari penjajahan, penindasan, perbudakan, dan kejahatan apapun yang bisa mengusik kemakmuran rakyat. Sejatinya petuah undang-undang ini tidak pantas dilanggar, baik bangsa asing maupun sesama rakyat Indonesia. Baca saja sila kedua dan kelima, coba cari apa maksudnya. Tapi sekarang, pejabat negara pun berani mengusik kemerdekaan rakyat.

Kita sebutkan saja, bangsa Indonesia sudah merdeka sebagaimana sebenarnya arti merdeka. Lihatlah bagaimana kebebasan negara ini berdiplomasi dengan negara lain, sudah merdeka bukan? Tapi janganlah Engkau palingkan pandangan dari isi bangsa ini. Coba libat wajah anak bangsa ini. Lihat lekat-lekat. Pandangi satu per satu, terutama yang sering bertindak seraya teriakkan kata nasionalisme. Mungkin Engkau terkejut memandangi wajah anak bangsa ini.

Baru saja kemarin, dua hari menjelang peringatan kemerdekaan sila kedua dilanggar pejabat negara. Sejumlah warga Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia, yang melakukan aksi unjuk rasa terkait sengketa lahan mendapat tindak kekerasan dari anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) yang berada di lokasi. Secara sistem demokrasi, TNI AU tidak beradab karena mengeroyok warga yang bersuara melakukan pembelaan atas sengketa tanah. Bukankah mereka itu pelindung masyarakat, petugas keamanan yang seharusnya meminimalisir tindak kriminal. Ini malah melakukan kriminal.

Alasan apapun, termasuk rasa nasionalisme tidak dibenarkan jika realisasinya dalam bentuk kejahatan. Pada kasus ini bisa dilihat rakyat belum merdeka. Rakyat belum bebas menyatakan pembelaan. Pada hari yang sama, dua rakyat lainnya yang berprofesi sebagai wartawan terpaksa masuk ke rumah sakit karena di keroyok TNI AU berseragam lengkap. Padahal, niat mereka sungguh mulia, ingin menyiarkan pembelaan warga Kelurahan Sari Rejo atas ketidakadilan terkait lahan.

Sehari menjelang kemerdekaan Indonesia, wartawan Indonesia berkabung mengingat Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab disapa Udin. Dia wartawan Bernas yang dibunuh karena berita pada 16 Agustus 1996. Dugaan besar pelakunya berasal dari aparat keamanan negara. Jika melihat kronologis usai pembunuhan Udin, Kanit Reserse Umum Polres Bantul, Edy Wuryanto yang saat itu berpangkat sersan kepala menghilangkan barang bukti berupa sampel darah dan buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan. Ia kemudian terbukti bersalah karena membuang sampel darah itu.

Udin dibunuh karena berita yang ia tulis bersifat kritis, hal yang juga dibenci pengkata nasionalisme. Pada awal mei 2016 lalu, wartawan suarapapua.com, Ardiles Bayage dipukul anggota Brimob Polda Papua saat meliput aksi unjuk rasa Komite Nasional Papua Barat. Bahkan, saat konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Republik Indonesia berlangsung, wartawan yang meliput terlebih dahulu diberikan pelatihan militer dan ditanamkan paradigma jurnalisme patriotis agar pemberitaan pro Tentara Indonesia. Berita pun menjadi lebih soft dan penuh eufemisme.

Segitu takutnya pejabat negara merdekakan keadilan rakyat dengan tidak mengekang hak-hak rakyat. Tidakkah mereka, para pemangku kepentingan, aparat keamanan, dan pejabat negara lainnya, belajar dari pengalaman masa reformasi dahulu? Apa yang terjadi ketika aparat keamanan membungkam rakyat dan mahasiswa yang kritis, membunuh pejuang keadilan seperti Munir, menekan kebebasan wartawan. Kebencian demi kebencian lahir dari berbagai elemen rakyat yang merasa tertindas, untuk kemudian bersatu melawan aparat bangsa(t) pengkata nasionalisme.

Mereka pikir, bisa menakutkan rakyat yang tak punya kekuasaan dengan melakukan kekerasan. Mereka pikir, orang kritis tak punya rasa nasionalisme sehingga kerap di kriminalkan. Tidaklah salah jika Engkau meneriakkan kata naisonalisme untuk menyatakan kecintaan terhadap bangsa. Tapi ingatlah, setiap diri kita punya moral untuk tidak melakukan tindak kejahatan kepada makhluk apapun, tanpa pandang status dan penghasilan. Memanglah tidak bisa dipungkiri jika bangsa ini sudah merdeka. Tapi tidak dengan moral pejabat bangsa.