Munculnya gerakan perlawanan oleh rakyat ialah alarm penanda bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja. Gerakan semacam ini lahir dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi obyektif yang ada. Kritik hingga demonstrasi kemudian digunakan sebagai saluran untuk menunjukkan letak masalah. Namun tidak semua pemerintah/pihak terkait mampu menyikapi kritik dengan cermat dan bijaksana.
Ketidakberanian menghadapi kritik kerap ditunjukkan oleh pemangku jabatan, misalnya dengan keengganan menemui massa aksi padahal hanya terpisah jarak selemparan batu. Juga, sibuk rapat hingga drama sedang tertimpa musibah. Kengganan ini tidak hanya terjadi di depan istana, tetapi juga di tempat-tempat lain di mana gerakan muncul. Tindakan lebih parah tidak jarang dilakukan dengan memukul mundur para demonstran menggunakan aparatur negara.
Baru-baru ini, gerakan perlawanan rakyat muncul di Sukoharjo, Jawa Tengah. Mereka menentang aktivitas PT Rayon Utama Makmur (RUM) dalam memproduksi kapas sintetis (Serat Rayon) menghasilkan limbah pabrik yang mencemari lingkungan. Pasalnya, bau busuk limbah pabrik dianggap mengganggu pernapasan yang berdampak pada warga mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), serta pencemaran lingkungan.
Konflik Lingkungan dan Kriminalisasi Terhadap Aktivis
Mengutip pembebasan.org, terdapat 32 warga terkena ISPA berat, serta 152 warga di Kedungwinong merasakan pusing dan mual. Selain warga Kedungwinong, bau busuk limbah PT RUM ini juga ikut meresahkan warga dari desa Plesan, Gupit, Celep, dan Pengkol. Menyikapi hal tersebut, warga melayangkan protes terhadap aktivitas produksi PT RUM. Bersama dengan beberapa gerakan lain, warga mulai menyuarakan penolakan keberadaan PT RUM. Setelah melakukan beberapa aksi, akhirnya pada tanggal 19 Januari 2018 warga mendapat jawaban. Warga dan PT RUM bersepakat bahwa satu bulan berikutnya yaitu pada tanggal 19 Februari 2018 PT RUM akan berhenti beroperasi.
Kenyataannya, hingga waktu yang telah ditentukan melalui kesepakatan dengan warga, PT RUM mengulur-ulur janji penutupan sampai 24 Februari 2018. Tak hanya PT RUM, Bupati Sukoharjo yang pada 22 Februari 2018 berjanji akan menandatangani SK penutupan PT RUM memilih pergi ke Bali untuk mengikuti agenda partainya, PDI Perjuangan.
Hal tersebut justru menyulut emosi warga dan jaringan solidaritas. Hari itu, warga memblokade pabrik dan melakukan aksi bakar ban lantaran kecewa dengan Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya. Namun, aksi warga dihalangi oleh aparat gabungan polisi dan TNI. Amarah warga kian memuncak usai aparat melakukan pemukulan, penyekapan, dan penyiksaan terhadap tiga orang massa aksi.
Amarah warga direspon oleh aparat dengan menarik dua massa aksi dari barisan, lalu mencekik dan memukuli mereka. Dua orang tersebut adalah Totok dan Subakti, pemuda penolak aktivitas PT RUM. Totok dan Subakti mengungkapkan, bersama mereka, ada seorang lain yang tidak diketahui identitasnya saat disekap oleh aparat.
Kondisi aksi yang ricuh dimanfaatkan aparat untuk melemahkan gerakan rakyat dengan intimidasi, dan selanjutnya kriminalisasi. Tercatat ada 3 aktivis yang dikriminalisasi pasca-aksi terkait PT RUM. Muhammad Hisbun Payu, Kelvin dan Sutarno ditahan dengan tuduhan perusakan aset PT RUM.
Pertama, penangkapan Muhammad Hisbun Payu yang akrab dipanggil Iss terkait dengan dari aksi ricuh di depan pabrik PT RUM. Minggu, 4 Maret 2018 pukul 23.45 WIB, Iss ditangkap di depan pintu masuk Alfamidi Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Saat itu Iss berniat melaporkan kasus PT RUM ke Komnas HAM. Namun, Iss keburu ditangkap polisi sebelum sampai ke Komnas HAM.
Ketika penangkapan, tidak ada atribut yang menandakan bahwa pelakunya dari pihak kepolisian. Mereka menangkap Iss dengan berpenampilan seperti masyarakat sipil, dan tidak menggunakan mobil dinas. Demikian halnya dengan tidak ditunjukkannya surat penangkapan. Barulah setelah Iss diborgol dan di perjalanan dengan mobil surat penangkapan ditunjukkan.
Kedua, Kelvin (20) ditangkap di rumahnya sehari setelah penangkapan Iss, Senin, 05 Maret 2018 pukul 02.00 WIB. Kurang lebih ada 5 orang Polisi berpakaian sipil datang ke rumah Kelvin di Desa Plesan Kecamatan Nguter Kab. Sukoharjo. Kelvin diminta menandatangani surat penangkapan. Kemudian, mereka membawa Kelvin menuju Polda Jawa Tengah.
Terakhir, seperti Kelvin, Sutarno (40) juga ditangkap dirumahnya di Dukuh Bugangin, Desa Lemah Abang, Kecamatan Jumapolo Kab. Karanganyar. Sekitar 5 orang polisi berpakaian sipil dari Polres Sukoharjo mendatangi rumah Sutarno dan menunjukkan surat perintah penangkapan dan surat penetapan tersangka kepada Sutarno untuk ditandatangani. Setelahnya, Sutarno dinaikkan mobil polisi dengan kondisi diborgol dan mata ditutup, kemudian dibawa ke Mapolda Jawa Tengah.
Kelvin dan Sutarno menjalani pemeriksaan sejak pukul 09.00 hingga pukul 16.00. Setelah pemeriksaan, ketiga aktivis penolak pencemaran lingkungan itu dikenai dakwaan KUH Pidana pasal 187 ayat (1&2) dan atau pasal 170 ayat (1) dengan ancama pidana maksimal 15 tahun kurungan.
Tak Cermat Memahami Kasus
Dua hal berbeda ditunjukkan oleh kepolisian dalam kasus limbah beracun PT RUM. Pertama, Kepolisian bertindak cepat dalam penangkapan aktivis. Setidaknya pihak kepolisian sebagai penegak hukum sudah bekerja keras dalam proses penangkapan Iss di Jakarta, menangkap Kelvin dan Sutarno diwaktu yang terbilang sangat pagi, pukul 02.00 dini hari. Tapi sikap dan kinerja kepolisian yang tanggap itu tidak ditemukan ketika dihadapkan dengan penanganan kasus racun PT RUM.
Sejak beroperasi di awal Oktober 2017, PT RUM sudah mendapatkan protes dari warga. Pencemaran lingkungan oleh limbah PT RUM sudah diadukan ke Pemkab Sukoharjo dan warga pun sudah meminta dilakukan audit terhadap pengendalian limbah pabrik pengelolaan kapas sintetis tersebut. Sayangnya, aparat kepolisian justru tidak tanggap dalam kasus ini.
Di titik ini, patut dipertanyakan kecermatan aparat dalam menyikapi pelanggaran hukum. Dua hal di atas, menimbulkan pertanyaan. Jika Iss dan kawan-kawan dijerat hukum karena perusakan aset PT RUM, maka mengapa pihak PT RUM juga dapat dijerat hukum dengan perusakan lingkungan melalui limbah pabrik.
Masalah pencemaran lingkungan sudah diatur dalam Undang-undang Pasal 1 angka 14 Nomor 32 Tahun 2009 yang berbunyi, “adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”.
Dikutip dari tirto.id bahwa menurut hasil analisis tim Independen Muhammadiyah Sukoharjo menunjukkan, dua dari tiga parameter limbah cair PT RUM tidak memenuhi ambang baku mutu yakni Total Disolved Solid (TDS) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Satu parameter lainnya yang sudah sesuai ambang baku mutu yakni, PH limbah cair. Penelitian dilakukan tim independen Muhammadiyah dengan analisis sembilan sampel limbah cair PT RUM dari 31 Januari hingga 5 Februari 2018.
Dengan dampak lingkungan yang jelas seperti itu, pihak kepolisian bergerak amat lambat dalam melakukan kinerjanya. Dari kasus ini, kita bisa amati adanya pembiaran akar masalah, abainya Bupati Sukoharjo dalam menjamin ruang hidup warga, tindakan represif dari aparat, serta kegagalan hukum menjamin keadilan.
Sikap aparatur negara dalam kasus ini, seperti disebut di atas, adalah wujud dari ketidakmampuan bersikap dengan cermat. Padahal, aparat mestinya bekerja secara profesional, tidak menjadi anjing penjaga pemerintah ataupun pemilik modal. Kasus semacam ini mengingatkan kita bahwa di negara ini ada yang benar-benar sedang tidak baik-baik saja.[]
*data dihimpun dari PPMI DK Semarang, PEMBEBASAN, LBH Semarang, WALHI Jateng, tirto.id, dan KontraS