Sabtu, 5 Oktober 2024, seorang lelaki paruh baya bernama Miftahuddin Ramli telah kembali ke Bumi Arema setelah melakukan perjalanan panjang menuju Jakarta. Lelaki yang akrab dipanggil Ebes Midun itu tengah bertolak dari rumahnya di Kota Batu menuju Jakarta untuk mengampanyekan Tragedi Kanjuruhan. Aksi ini menjadi kali kedua setelah tahun lalu ia juga berkeranda mengayuh Pulau Jawa dengan sepedanya.
Perlu diketahui, Ebes Midun bukanlah keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Ia juga bukan salah satu orang yang berada di lokasi kejadian saat 135 nyawa melayang. Meski begitu, ia memiliki rasa empati kuat ketika melihat Tragedi Kanjuruhan yang cenderung sederhana dalam penyelesaiannya.
Aksinya bersepeda dari Kota Batu ke Jakarta juga bisa dibilang cukup nekat, ia mengakui itu. Bagi Ebes Midun, hal ini menjadi respon alamiah. Ia menegaskan jika dirinya sengaja melakukan aksi bersepeda murni sebagai bentuk ekspresi respon atas penyelesaian Tragedi Kanjuruhan yang tak menemui titik terang hingga tahun kedua.
“Saya sebenarnya kalau disuruh berbicara itu mendingan saya mancal [bersepeda]. Karena kalau berbicara itu kadang-kadang terpeleset bisa menjadi masalah, tetapi ketika saya mancal [bersepeda] lalu tersesat saya masih bisa berbalik arah,” ujarnya saat sesi diskusi di depan Pintu 13 Stadion Kanjuruhan.
Tekad yang kuat, ciri khas ngeyelnya Arek-arek Malang, dan api perjuangan yang tak kunjung padam tergambar jelas dari raut wajahnya. Ebes Midun juga mengatakan bahwa Tragedi Kanjuruhan tidak cukup jika hanya untuk dikenang. Terlalu pasrah apabila Tragedi Kanjuruhan hanya untuk dikenang. Menurutnya, kasus ini masih pantas diperjuangkan keadilannya.
Banyak Solidaritas Mengalir di Luar Kota
Seusai adzan ashar berkumandang, Ebes Midun telah sampai di pelataran Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Di sore itulah kedatangan Ebes Midun disambut hangat oleh keluarga korban bersama kawan-kawan yang bersolidaritas pada perjuangan keadilan Tragedi Kanjuruhan. Kepulangan Ebes Midun menjadi momentum pengingat sekaligus berkumpulnya sisa-sisa semangat perjuangan keadilan yang hari ini makin memudar dari pandangan publik.
Kedatangan Ebes Midun segera disambung dengan gelaran doa bersama di depan Pintu 13, Stadion Kanjuruhan. Setelah usai menggelar doa bersama, Ebes Midun bersama keluarga korban menceritakan refleksi perjuangan keadilan setelah dua tahun Tragedi Kanjuruhan.
Dalam ceritanya, Ebes Midun menguraikan pesan kesan yang ia dapat selama perjalanan mengayuh sepeda. Misinya membawa pesan perdamaian antar suporter sepakbola nyatanya mendapat respon positif di tiap-tiap kota yang disinggahi. Jika tahun lalu ia menempuh perjalanan melalui jalur pantai utara (pantura), tahun ini ia memilih jalur tengah melewati Solo, Jogja, Bandung, hingga Jakarta.
“Saya ingin menjalin silaturahmi antar suporter dengan jalan yang berbeda. Tahun lalu Pantura kalau sekarang lewat tengah, lewat Bandung. Di sana kan juga baru ada kekerasan terhadap suporter [Persib Bandung],” terang Ebes Midun.
Solidaritas antar suporter kepada perjuangan Ebes Midun dibuktikan dengan aksi-aksi pengawalan saat Ebes Midun melewati perbatasan kota ke kota lain. Para suporter di masing-masing jalur yang dilewati Ebes Midun silih berganti mengawal perjalanan Ebes Midun. Tak hanya itu, Ebes Midun juga kerap difasilitasi tempat beristirahat saat membutuhkan jeda perjalanan.
Biarpun dibilang isu Tragedi Kanjuruhan memudar perlahan, tetapi sekecil apapun solidaritas perjuangan keadilan tragedi ini tetap bertahan. Solidaritas tak akan terbatas dari apa, siapa, dan dari mana. Rasa prihatin Ebes Midun yang begitu dalam nampaknya tersampaikan pada kawan-kawan di sepanjang jalan ia berkeranda. Ebes Midun tak pernah sendiri.
“Setiap perjalanan saya tidak pernah sendiri. Ada saja teman, ada orang-orang baru yang saya kenal. Mereka memberikan semangat kepada saya, padahal saya tidak mengenalnya. Dan mereka merasa prihatin terhadap kasus ini. Seperti menguap begitu saja,” ceritanya.
“Saya bukan yang paling peduli. Saya bukan yang paling mencintai. Saya hanya ingin merasa ini bagian dari kecintaan saya pada Arema dan prihatin pada tragedi ini,” tambah Ebes Midun.
Melihat respon yang demikian baik, Ebes Midun berkata akan sebaiknya kalau masyarakat di Malang juga tak kendor dalam mengawal isu Tragedi Kanjuruhan. Menurutnya, masalah ini bukan hanya masalah bagi masyarakat Malang, tetapi juga masalah Nasional bahkan Internasional.
Selain solidaritas dari kalangan suporter sepakbola, Ebes Midun juga mendapat sambutan hangat oleh kawan-kawan Aksi Kamisan Jakarta di depan Istana Negara. Ia mengaku terkesan saat bertemu Sumarsih, ibu dari Wawan, salah satu dari korban penembakan di Tragedi Semanggi. Momen itu sangat mengharukan bagi Ebes Midun lantaran pertama kalinya ia bertemu Sumarsih sebagai sama-sama pejuang dalam memperoleh keadilan pelanggaran HAM.
“Paling berkesan itu pas kemarin saya bertemu Bu Sumarsih di depan istana. Itu pertama kali saya kesana. Saya dikasih mikrofon untuk orasi. Ya kesannya saya ndredeg. Saya mendingan gowes daripada disuruh bicara,” ulangnya sekali lagi.
Sesekali Ebes Midun mengusap kepalanya. Sorot mata di umurnya yang telah melewati setengah abad menampakkan rasa lelah. Tekadnya untuk beraksi menyuarakan keadilan terus menguat. Berharap semangat Ebes Midun menular pada kawan-kawan yang sore itu mendengar langsung cerita perjalanannya.
Mencari Kesaktian Pancasila
Jika tahun lalu Ebes Midun membawa tajuk “Justice For Kanjuruhan”, tahun ini ia memasang tulisan “Ladub Berkeranda Mencari Kesaktian Pancasila” di sisi samping kerandanya. Hal ini ia lakukan bukan tanpa alasan. Kejadian yang menimpa penonton laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya dua tahun lalu memang bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Mendapati hal itu, Ebes Midun berniat mendatangi upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya. Akan tetapi, dengan berbagai pertimbangan, rencana tersebut tidak mungkin dilakukan mengingat ketatnya pengamanan sekitar upacara Kesaktian Pancasila di Lapangan Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Barat.
Meski begitu, misi Ebes Midun bukanlah tanpa hasil. Keranda yang ia bawa misalnya, ratusan sampai ribuan orang di sepanjang jalan yang ia lewati mungkin sempat membacanya. Kampanye Ebes Midun, upaya mencari keadilan di Hari Kesaktian Pancasila, setidaknya telah menunjukkan sekaligus mempertanyakan kepada banyak orang di mana kesaktian Pancasila saat ratusan orang terbunuh.
Menurut Ebes Midun, kejadian ini seharusnya menjadi perhatian publik mengingat di hari yang disakralkan bagi banyak masyarakat Indonesia itu justru ternodai dengan kebrutalan aparat dalam mengendalikan massa. Gas air mata yang digunakan personil pengaman pertandingan telah berimbas pada tewasnya 135 nyawa.
“Intinya kesaktiannya [Pancasila] telah ternodai dengan tragedi ini. Barangkali pada waktu kejadian tersebut media kurang memperhatikan tentang bertepatannya tragedi kanjuruhan dengan kesaktian pancasila,” ujar Ebes Midun.
Sore itu, di tengah wajah megahnya Stadion Kanjuruhan pasca di renovasi, puluhan keluarga korban masih berharap asa perjuangan terus terbakar. Pintu 13 yang dua tahun silam menjadi saksi ratusan orang berdesakan keluar, kini telah berganti dengan tembok baru. Air mata yang dulu deras mengalir, beberapa telah berubah menjadi sorak sorai di atas lapangan hijau. Namun, bagi keluarga korban dan seluruh kawan yang berjuang, keadilan tetap harus diperjuangkan.
Di akhir ceritanya, Ebes Midun berharap Tragedi Kanjuruhan segera mendapatkan keadilan. Ia juga membeberkan pesan yang ia dapat selama berinteraksi dengan kawan-kawan di luar kota yang telah mengawal aksi Ebes Midun. Banyak yang berpesan kepada Ebes Midun agar Aremania atau siapapun tetap menyuarakan dengan caranya sendiri. Sebab kejadian seperti itu akan sangat memungkinkan terulang kembali.
“Mereka [para suporter] malah ada yang bilang bahwa sepakbola ini belum begitu menarik selama Tragedi Kanjuruhan belum mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. Sepakbola Indonesia ini masih berlumuran dosa.” tandas Ebes Midun.
Penulis: Delta Nishfu
Editor: Alfi M F