Yogyakarta adalah mimpi bagi kebanyakan pelajar sekolah usai kelulusan, termasuk saya. Anak mana yang tak bermimpi melanjutkan kuliah di Yogya? Tersohor sebagai kota pendidikan dengan ratusan perguruan tinggi dan puluhan ribu mahasiswa, tumplek blek jadi satu. Ratusan kios buku keren, perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara, angkringan murah, seniman serta sastrawan bertebaran, penduduk lokal yang sumeh-sumeh, dan apa-apa yang perlu kita cari dari dunia yang fana ini semua ada di Yogya.
Setelah usaha berdarah-darah yang ternyata tak juga sanggup mengantarkan saya menjadi seorang mahasiswa Yogya, Malang menjadi kota alternatif. Meski sudah 3 tahun lebih berusaha mengakarkan diri di Malang, Yogyakarta dan segala ekspektasi tentang kota pendidikan yang ideal itu tak pernah hilang. Semasa kuliah, saya masih sering plesiran sambil Menyuburkan kembali harapan agar suatu hari dapat menuntut ilmu di Yogyakarta. Entah ilmu macam apa.
Namun beberapa hari lalu, saya tercekat saat mendapat kabar teman dari seorang mahasiswa Yogyakarta. Ia memberi kabar buruk. Sebuah lembaga pers mahasiswa di Yogyakarta, LPM Poros dibredel dan dibekukan oleh birokrat kampus, oleh jajaran orang-orang terhormat di Universitas Ahmad Dahlan, hanya karena membuat berita tentang kebijakan kampus. Saya kira hanya bercanda! Bagaimana bisa daerah beridentitas kota pendidikan itu punya pejabat-pejabat kampus dengan mental anti-kritik.
Saya berusaha menabahkan diri menerima realita, tidak Yogyakarta, tidak Malang, Mataram, Salatiga, Jakarta, ataupun Makassar. Nafas pendidikan kita penuh sesak dengan orang-orang yang bermental a la Orde Baru warisan Soeharto. Yogyakarta dan segala perangai manisnya, seperti laki-laki, sama saja! Di kota impian itu, bercokol pula pendidik-pendidik yang tak paham apa makna kritik, hingga mucul ucapan “tak bermanfaat” atau “itu cuma simulasi” dari mulut manis para pejabat pendidikan tinggi.
Saya heran, mengapa para pejabat pendidikan itu demikian tuli dan peduli setan dengan kritik yang dilontarkan mahasiswa. Memang wajah pendidikan kalian sudah sebaik apa, sampai tidak mau masuk pada kontestasi diskursus yang adil?
Adalah sebuah ungkapan yang sangat memalukan dari mulut seorang pendidik jika pers mahasiswa dianggap tidak bermanfaat karena hanya bisa mengkritik. That’s just how democracy work. Pers berperan menciptakan sebuah ruang diskursus yang adil, membentuk suatu ruang publik yang emansipatoris dan membebaskan masyarakat dari false consciousness. Tentu sangat memalukan jika seorang rektor atau wakilnya tak tahu soal demokrasi.
Tapi saya kira anda tidak mungkin tidak tahu, bapak-ibu yang terhormat hanya menutup mata. Sambil membuat situasi se-kondusif mungkin. Pengetahuan ternyata memang hanya milik mereka yang berkuasa, ya? Bukan untuk kami yang kecil ini. Lihat saja ketika kawan-kawan pers mahasiswa, lembaga yang tumbuh di akar rumput, berusaha menguak kebenaran yang mengusik kursi nyaman kalian, kami dibungkam. Sangat represif. Kejam dan dingin.
Beginikah kalian para pendidik memperlakukan pengetahuan. Kalian kemanakan butir pertama Tridharma perguruan tinggi itu? Pendidikan dan pengajaran. Pendidikan macam apa yang kalian doktrinkan pada kami jika kalian sendiri tak berani jujur pada kebenaran. Apakah kami yang menuntut kebenaran ini yang salah didik?
Jika ditelisik lebih jauh, keroposnya Tridharma kita itu tidak hanya pada butir pertamanya. Butir kedua tentang penelitian dan pengembangan, belakangan ini lebih populer sebagai kerja proyekan instansi-instansi besar untuk memperoleh legitimasi akademik, tanpa mengukur kelayakannya. Penelitian diperjualbelikan, nama besar kampus dijadikan stampel. Belum lagi butir ketiga tentang pengabdian masyarakat, yang pada beberapa kampus dinegosiasikan menjadi pengabdian korporat.
Sudah keropos sana-sini kok masih anti-kritik dan merasa maha benar. Mau tidak mau memang harus kita akui, nafas pendidikan kita makin pendek dengan banyaknya pendidik hipokrit macam ini. Kawan-kawan yang mengupayakan untuk memperpanjang nafas pendidikan kita dengan menciptakan ruang publik yang diskursif seperti LPM Poros, malah dipenggal oleh birokratnya sendiri, birokrat bermental orba yang menilai bahwa upaya kawan-kawan mahasiswa hari ini tak bermanfaat. Lembaga pendidikan ternyata sama bobroknya dengan lembaga negara lainnya. Upaya penegakkan Tridharma yang makin tak jelas arahnya malah dianggap “tidak membawa manfaat”.
Kalau sudah begini apa lagi yang bisa kami lakukan selain upaya agitasi dan propaganda untuk menuntut keadilan. Sementara dewan pers yang harusnya menjadi tempat kami berlindung masih sibuk dengan pertanyaan, apakah pers mahasiswa berhak menggunakan UU Pers? Oh kawan-kawan pers mahasiswa yang baik hatinya, sementara ini yang bisa kita lakukan hanya memperluas serta merawat pembaca dan jaringan.
Hingga ketika upaya represif tak berperikemanusiaan macam ini muncul, akan banyak orang yang berteriak: Lawan!!! Sejauh ini saya masih meyakini Sajak Suara karya Wiji Thukul yang maha syahdu ini:
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakann