“Kalau setelah lulus kuliah, kerja, terus menikahnya kapan?”
Tidak satu, dua, atau tiga kali saya mendengar cerita mengenai komentar itu dari beberapa kawan yang habis pulang kampung. Bahkan saya sendiri berkali-kali mendapat tanya semacam itu. Kesannya memang wajar orang bertanya demikian, tidak perlu emosi membela diri di hadapan penanya yang penasaran soal hidup kita.
Dan yang sering mengusik saya beberapa hari terakhir ini adalah, mengapa pertanyaan soal menikah di usia 20 tahun ke atas sering berdatangan? Terutama pada perempuan yang berasal dari desa yang mayoritas penduduknya (khususnya perempuan) menikah setelah lulus SMA. Tentu saja tulisan ini bukan bermaksud memunculkan persoalan yang diskursif, di mana pandangan umum mempercayai hal yang tak bisa dielakkan antara desa dan kota.
Hanya sedikit refleksi terhadap makna kebebasan yang terus diupayakan di berbagai forum kesetaraan. Ada pertanda bahwa perempuan memiliki peluang menikmati hidupnya secara utuh, terlebih ketika mengetahui lembaga organisasi yang interaktif. Tengoklah Yayasan Jurnal Perempuan, yang konsisten mengkaji isu-isu perempuan mutakhir. Juga Samsara, senantiasa mengadvokasi perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Lihat pula Aisyiyah yang sampai sekarang tetap setia mendukung kemajuan perempuan melalui pendidikan. Dan tentunya masih banyak sekali lembaga-lembaga yang sangat positif menjadi penggerak.
Dalam persoalan yang kentara di wilayah desa, nampak tidak mungkin menjadi sebebas seperti di wilayah kota. Dua perbedaan itu melahirkan stigma yang perlu dimengerti oleh pribadi masing-masing tanpa menilai buruk satu sama lain. Diutamakan bagi mereka yang mengenyam pendidikan di kota, jelas pemahamannya dituntut lebih arif, karena berpeluang menikmati kebebasan. Sedangkan nilai dan norma yang mengakar di desa sangat kuat, sehingga segala sikap yang kita ambil menjadi sorotan banyak pihak.
Sejauh saya mengamati, kawan-kawan yang bergelut dengan aktivitas di perkotaan cenderung merasa risih dengan aturan di desanya. Alhasil, beberapa di antara mereka memutuskan tinggal lebih lama dan menghindari pulang kampung, atau bahkan malah menetap. Sementara tuntutan masyarakat di tempat kelahiran agar putra-putri daerah yang telah mengenyam pendidikan di kota bisa menerapkan ilmunya kembali di desa.
Kadang di situ muncul “ego” yang meninggi. Pernah saya dapat curhatan kawan yang mengaku perlu untuk mengesampingkan kesenangan pribadi guna mempersiapkan rumah tangga. Itu juga karena mendapat nasihat dari orang tua, karena usianya lebih dari matang. Saya yakin, ada dilematis yang sulit dijadikan cerita, di sisi lain, keadaan punya porsi kuat untuk terus mendesak. Antara membiasakan hidup sebagai pribadi merdeka, ataukah patuh terhadap aturan kultural yang mengekang?
Barangkali kita lambat laun akan lahir sebagai pribadi yang terbiasa memakan kritik. Dan bisa jadi malah didominasi sifat anti-kritik. Keduanya mesti jadi landasan kuat menghadapi kenyataan di masyarakat luas, bahwa perempuan patut memperjuangkan keyakinannya berdasarkan akal sehat. Seperti kisah Roro Mendut sewaktu dikasih pilihan antara jadi istri raja atau membayar pajak kepada kerajaan, dan Roro Mendut memilih untuk membayar pajak.
Di situ, akal dan rasa diadu, dan soal bayar pajak, tentunya lebih menguras tenaga-pikiran, eh tapi Roro Mendut berani ambil risiko. Akal sehatnya main. Kemudian, upaya yang dilakukan untuk membayar pajak, ia berjualan rokok keliling. Dan ya, ini yang menjadi kekhasan cerita, di mana semua orang mengingat betul keistimewaan rokok yang dijualnya. Roro Mendut menjual rokok yang sudah diincip dari mulutnya.
Tak ada larangan untuk menilai kehidupan desa yang kolot dan patriarkis. Tetapi kalau tidak diimbangi pengertian, sementara perdebatan serta usaha penyadaran hanya meruang di kota, usaha kesetaraan hanya akan jadi debat kusir.