Di Tangan Pemimpin Baru Dewan Pers, Akankah Pers Mahasiswa Dapat Perhatian Serius?

1
785
https://pixabay.com/id/pensil-rautan-buku-catatan-kertas-918449/
sumber: http://i67.tinypic.com/2mzmm9z.jpg

Pada Rabu 23 maret 2016 mungkin merupakan momentum yang sangat bahagia bagi Yosep Adi Prasetyo, atau yang sering disapa Stanley. Yap, betul sekali, beliau dipilih sebagai ketua Dewan Pers periode 2016-2019 menggantikan Bagir Manan yang telah menjabat dua periode. Stanley merupakan alumnus  Universitas Kristen Setya Wacana (UKSW) Salatiga yang senantiasa memperjuangkan ketidakadilan dan kebebasan berpendapat, untuk mewujudkan negara yang demokratis.

Sumber: http://i64.tinypic.com/1zgxc38.jpg

Kepemimpinan baru  tentu sangat identik dengan semangat baru, hal ini tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh pers mahasiswa (Persma) dalam melihat masa depannya di era kepemipinan Dewan Pers yang baru. Lantas apa korelasinya antara ketua Dewan Pers yang baru dengan nasib Persma? Akankah awak Persma dapat menjadi jurnalis, layaknya jurnalis profesional yang dapat melakukan reportase dengan bebas? Ini sebuah pertanyaan yang menarik untuk diulas. Namun sebelum memberi ulasan, mari kita menikmati kopi sejenak sebelum melihat resolusi yang akan dilakukan oleh Stanley pada Persma.

Memandang persoalan Persma, berarti memadang pula masa depan para jurnalis. Sebab persoalan Persma bukan hanya berbicara soal institusi pendidikan di dalam kampus, melainkan semangat dalam merubah keadaan dan mengontrol kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama dalam sejarah perjalanan Persma, keberadaannya terciptakan karena keberanian dalam meperjuangkan dan menegakkan kebenaran. Untuk itu, memperhatikan Persma  akan menemukan gambaran bagaimana jurnalisme di indonesia yang akan datang.

Seperti yang kita ketahui bersama, Persma sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil oleh institusi perguruan tinggi. Ketidakadilan yang senantiasa menyelimuti perjalanan Persma dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik yang pada akhirnya membuat awak Persma banyak terbebani, bahkan tekanan batin yang berujung paranoid pada dirinya sendiri.

Ada beberapa persoalan yang membelenggu Persma kini, mulai dari persoalan kekerasan sampai pembungkaman Persma. Sejauh yang saya pahami, hal ini belum mendaptkan perhatiaan khusus oleh Dewan Pers, pada tahun 2014-2015 Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional Mendata ada 7 kasus yang terjadi di tubuh Persma. Kasus tersebut diantaranya berupa intimidasi, diskiriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi dan pemutaran film, sampai pada pembredelan majalah serta pembekuan lembaga Persma.

Tentu saja hal tersebut kurang mendapatkan perhatian oleh Dewan Pers, bahkan belum mampu melakukan upaya kongkrit dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi Persma. Tentu saja hal tersebut bukan tanpa alasan, lagi- lagi yang menjadi alat penyelesaian sengketa pers adalah Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. Jelas sudah jika dalam UU tersebut tak mengakui keberadaan Persma. Sehingga jika persma bermasalah baik di internal kampus maupun di luar kampus tentu tidak bisa menggunakan UU tersebut.

Persma Semakin Berkembang, Namun Sering Dipermasalahkan

Menyaksikan fenomena Persma saat ini, kita akan menyaksikan kemajuan yang cukup pesat di tubuh Persma, mereka mulai berbondong-bondong memanfaatkan teknologi seperti halnya mengkonversi dari media cetak ke media online. Dalam catatan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional Kurang lebih media online Persma kini sudah mencapai 200 portal media online.  Persma akhirnya mulai menemukan identitasnya, seperti tidak memberitakan isu-isu yang ada di dalam kampus saja, melainkan juga isu yang berada di luar kampus. Ini bisa menjadi pertanda, jika suatu saat nanti Persma akan menjadi salah satu sumber informasi yang dapat dipercaya dan terverifikasi.

Namun ada beberapa permasalahan yang belum juga bisa terselesaikan dalam tubuh Persma. Dalam diskusi yang oleh lakukan oleh Persma di Yogyakarta, dengan mencoba membedah persoalan media online Persma, ternyata permasalahan media online kedepannya bisa menjadi sebuah persoalan yang sangat serius. Hal itu bisa dilihat dari keberadaan UU yang tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada awak  Persma dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik, seperti UU ITE. Kasus ini bisa dilihat dari awak Persma Didaktika yang dilaporkan oleh salah satu Dosen UNJ karena dirasa mencemarkan nama baik sang dosen.

Tak hanya itu, dalam melakukan reportasenya Persma masih dianggap sesuatu hal yang remeh oleh narasumber, alasannya hanya satu, Persma dipandang sebuah media yang hanya fokus untuk memberitakan informasi seputar kampus, jadi tidak bisa memberitakan isu luar kampus. Sehingga jika ada Persma yang mau melakukan reportase terkait dengan kebijakan Pemerintah ataupun apparatus Negara seringkali mendapat kesulitan untuk memperoleh informasi.

Awak persma bahkan sering disuruh untuk membuat surat terlebih dahulu sebelum mewawancarai narasumber yang ditujukan kepada pimpinan perusahaan, institusi perguruan tinggi serta para pejabat-pejabat daerah andai ingin melakukan wawancara. Jika tidak ada surat, maka tidak diterima untuk wawancara, kalaupun sudah menyertakan surat harus menunggu lama. Saya tidak habis pikir kenapa perlakuan kepada Persma berbeda dengan pers pada umumnya.  Ini  adalah sebuah fenomena, ternyata Persma belum bebas dalam mendapatkan dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Kita memang pantas bertanya, di mana posisi kebebasan pers bagi Persma?

Selain itu, ada pula persmasalahan awak reporter Persma yang seringkali mendapat tindakan kekerasan, seperti intimidasi, diskriminasi, dan Drop Out (DO). Kasus intimidasi adalah kasus yang paling sering dialami oleh awak persma, data sementara yang tercatat di PPMI sebanyak 22 kasus intimidasi yang dialami oleh persma. Saya memandang nampaknya masih banyak kasus intimidasi yang terjadi pada awak persma, hanya saja belum berani mengungkapnya. Semoga awak persma yang mengalami intimidasi segera membuka diri. Saya menyadari masih ada ketakutan bagi awak persma untuk terbuka akan kasus yang dialami. Untuk itu, mungkin awak persma yang mengalami tindakan kekerasan bisa melaporkan ke PPMI ataupun organisasi Jurnalis yang lain.

Dalam setiap kasus yang terjadi, ternyata kebanyakan semua itu dilakukan oleh birokrat kampus di dalam institusi Pendidikan Tinggi. Setiap ada pemberitaan yang dirasa menjelekan kampus, birokrat kampus merespon dengan tindakan yang yang berlebihan, seperti melakukan intimidasi dan memanggil penulis kemudian menghimbau agar menghapus berita yang dianggap menjelekkan kampus.

Ada pula kejadian dimana awak Persma diancam oleh pihak luar, seperti saat melakukan peliputan isu-isu sensitif seperti penambangan. Awak Persma dipaksa untuk tidak mendokumentasikan hasil penambangan dengan cara mengambil memory card dari camera reporter. Ini menjadi persoalan yang sangat serius. Lantas apa yang akan dilakukan oleh Dewan Pers di masa kepemimpinan Stanley  jika melihat permsalahan yang dihadapi Persma?

Saya amat sangat  percaya semangat ketua Dewan Pers yang baru adalah semangat untuk melakukan perubahan dan memperhatikan serius jurnalisme di Indonesia, begitu juga Pers Mahasiswa. Saya sadar jika Abang Stanley lebih menjiwai pers mahasiswa ketimbang awak Persma, seperti apa yang pernah abang Stanley katakan dalam sebuah wawancara di portal Persma.org “Pers mahasiswa sebetulnya punya sejarah panjang yang penting dalam menumbuhkan demokrasi di negeri ini”.

Ditangan Abang Stanley, saya percaya jika keberadaan Dewan Pers adalah sebagai wadah  untuk menjaga dan melindungi kebebasan pers. Untuk itu, saya berharap keberadaan  Pers Mahasiswa agar dapat diperhatian secara serius oleh Dewan Pers agar terciptnya sebuah kemerdekaan pers  bagi Persma, dan tentunya untuk mewujudkan sebuah tatanan demokrasi di negeri kita.

Tentu saya tidak ingin melewatan momentum terpilihnya ketua Dewan Pers yang baru, untuk itu saya mengucapkan selamat atas terpilihya Yoseph Adi Prasetyo sebagai ketua Dewan Pers dan Ahmad Djauhari sebagai Wakil Ketua Dewan Pers. Tentu saja selamat bukan hanya sebatas ucapan, melainkan di dalamnya terdapat sebuah pesan  agar pers mahasiswa dapat dengan bebas menyampaikan informasi kepada masyarakat, kekerasan kepada Persma tidak terulang kembali lagi dan terakhir kebebasan pers dapat berjalan pula di dalam pers mahasiswa. Seperti semangat Dewan Pers dalam menjaga kemerdekaan pers.