Bahaya Laten Merazia Hantu Komunisme

Bayangkan, bila skrip-skrip Marxisme nantinya dihanguskan hanya karena dicap komunis. Kajian hegemoni, intelektual organik, budaya konsumtif, posmo, dan ekonomi kerakyatan tidak akan ada yang diketahui.

2
1172
"1965-2015" (Nobodycorp.org)

Sekitar pekan kedua Mei 2016, kawan-kawan polisi dan tentara gemar merazia aneka pernak-pernik yang disinyalir berunsur komunisme. Kabar tololnya, akan ada kebangkitan hantu-hantu komunis bersenjatakan palu dan arit yang siap mengganyang orang-orang bertuhan. Maka razia, main sita, sekaligus asal tangkap pun diterapkan oleh kawan-kawan polisi dan tentara; katanya menjaga keutuhan NKRI.

Adlun Fiqri dan kamerad-kameradnya lah yang kena sial. Ia dan ketiga kawannya dijemput pihak Kodim Ternate pada Selasa, 10 Mei, lantaran dicurigai menyebarkan simbol-simbol komunis melalui apa yang mereka kenakan, yakni kaos bergambar segelas kopi bercampurkan palu dan arit di dalamnya. Palu-arit, lambang identik PKI tersebut memancing kepekaan pengendusan intelijen untuk mencekal Adlun dan kawan-kawan. Ketika target didapat di sekretariat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), tak hanya para aktivis yang dibawa tentara, buku-buku pun disita.

Ternyata, di luar Ternate, aksi-aksi pemberangusan pernak-pernik komunisme pun juga digiatkan kawan-kawan aparat negara. Majalah Tempo edisi Fobia Hantu Komunisme mengabarkan bahwa praktik pemberangusan juga terjadi di berbagai daerah: Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya merazia toko penjual kaos kelompok death metal Kreator yang bergambar palu arit di Jakarta Selatan, Polresta Semarang memburu pemakai atribut berunsur PKI di tempat umum, Polres Grobogan menyita buku-buku biografi tokoh PKI, dan masih banyak lagi kelakuan aparat yang reaksioner terhadap keberadaan pernak-pernik komunisme.

Benak saya khawatir sehingga mengimajinasikan hal yang bukan-bukan. Seandainya, Ryamizard Ryacudu dan Badrodin Haiti jogging bareng di alun-alun Sukoharjo kemudian berpapasan Katrina Kaif yang mengenakan tank top merah berlogo palu-arit, apa mereka akan merazianya? Lantas yang akan disita cuma tank top-nya atau sekalian orangnya? Imajinasi saya pun kian menggagas liar.

Sensitivitas pihak-pihak komunisfobia terhadap fenomena yang dilabeli “komunis” memang sengaja dipelihara oleh lembaga-lembaga berkuasa bahwa sejatinya masyarakat yang Pancasilais-bertuhan adalah masyarakat yang sudi membela negaranya dengan cara tidak memakai atribut palu-arit, menikmati lagu Genjer-genjer atau Internationale, membaca skrip-skrip Marxisme, dan ikut gerakan pengorganisiran massa buruh juga petani. Sungguh pelabelan keji nan mematikan apabila tidak segera dinalar sehat dengan memproduksi wacana tandingan bahwa ada kepentingan kekuasaan di balik kelakuan kubu antikomunis reaksioner.

Saya bisa memaklumi kenapa kawan-kawan polisi, tentara, dan ormas antikomunis akhir-akhir ini merasa waswas akan kebangkitan hantu komunis. Menurut kemakluman saya, mereka tidak ingin apabila rekonsiliasi tragedi ’65 menjadi sukses karena nantinya mereka tidak punya kesibukan lagi untuk kampanye antikomunisme.

Selain itu, pengalihan isu menjadi trik supaya masyarakat tidak fokus mengontrol kebijakan pejabat publik yang abai kepentingan rakyat. Misal bila isu kebangkitan PKI bergulir meriah di Jawa Tengah sehingga masyarakat terlalu waspada, bagaimana masyarakat akan memikirkan pelbagai kasus darurat agraria di bawah kepemimpinan Ganjar Pranowo?

Ironisnya lagi, gerakan-gerakan rakyat pejuang daulat agraria di Kendeng Utara, Urutsewu, Gombong, dan Surokonto bisa dianggap gerakan komunis karena mirip manifesto politik PKI. Kemudian, penguasa menyuruh aparat negara memberangus gerakan-gerakan tersebut; upaya politik lempar batu sembunyi tangan. Anjingsaurus tenan!

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa ada geng hantu yang lebih berbahaya daripada hantu komunisme, yakni hantu-hantu kapital yang seenak-kejamnya sendiri menyerobot lahan hidup masyarakat lokal. Tidak dipungkiri pula, hantu-hantu itu mendapat restu negara untuk main sikat lahan. Apalagi memperoleh hak istimewa untuk dikawal polisi dan tentara supaya dengan mudah menggebuk gerakan protes warga lokal.

Persekongkolan antara geng kapital, penguasa negara, dan aparat adalah perpaduan sempurna menjalankan megaproyek. Kita hanya disemburi janji-janji manis kesejahteraan. Perlu bukti nyata?

Coba amati kasus megaproyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang bernafsu mengkonversi jutaan hektar lahan menjadi area perkebunan yang dikelola oleh banyak perusahaan. Di Kabupaten Merauke, berlangsungnya megaproyek ini menggusur kelangsungan hidup masyarakat adat. Hutan yang dibabat membikin suku-suku sekitar kesusahan mencari sagu sebagai makanan pokok. Jokowi malah mengumumkan akan mengkonversi lagi sekitar 1,2 juta hektar hutan adat pada Mei 2015.

Orang Malind dan Marind adalah golongan yang dirugikan oleh megaproyek industrialisasi pangan dan energi tersebut. Sungai Bian, Maro, dan Kum tercemar sehingga banyak ikan mati dan buaya naik ke daratan. Jahatnya, warga yang memperjuangkan kesejahteraan sembari menyuarakan anti-MIFEE di Merauke justru dituduh Organisasi Papua Merdeka.

Contoh di atas hanyalah salah satu contoh megaproyek. Masih ada proyek-proyek lain sebagai kelanjutan dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang diresmikan pada era rezim SBY kemudian beralih tugas proyek ke Jokowi-JK. Maka tidak aneh jika pembangunan infrastruktur menjadi terlihat masif; sinergitas tol Trans-Jawa, bandara, pelabuhan, dan jalinan jalan antardaerah yang ternyata masih merampas sebagian banyak hak ruang hidup rakyat. Pikirkanlah secara menajam-mendalam. Penguasa negara hari ini sedang berpihak untuk siapa?

Di saat maraknya kampanye megaproyek pembangunan ekonomi kekinian nan mengalpakan kebutuhan dasar rakyat lokal, konflik kelas antara pemodal dengan rakyat pejuang kesejahteraan terekspos dimana-mana. Rezim negara saat ini tidak secara tegas memperlihatkan keberpihakan pada kesejahteraan rakyat yang sedang berjuang dalam konflik. Janji idealis berkonsep Trisakti gagasan Soekarno; berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian secara sosial budaya, hanyalah isapan jempol pada Pilpres 2014. Kenyataannya, megaproyek masih dipaksakan terwujud walaupun kian memakan korban, memperparah konflik horizontal dan vertikal, juga melanggar HAM.

Jujur saja, saya tertarik membahas lebih lanjut soal proyek-proyek pembangunan ekonomi, namun mari membongkar perkara pengalihan isu dengan cara membangkitkan hantu komunisme, supaya penguasa merasa halal membungkam nalar kritis sekaligus gerakan pembebasan.

Semoga bung dan nona pembaca juga bisa paham atas penyampaian analisa saya. Bahwasanya tidak ada hal kebetulan begitu saja kenapa isu miring kebangkitan PKI bisa muncul ke permukaan khalayak. Sembari bereaksi, kita harus paham soal betapa bahayanya pengguliran isu tersebut di tengah labilnya kemajemukan sosial. Bukan perkara gerakan ideologi komunisme yang dipersoalkan, melainkan apa pentingnya isu tersebut digaungkan dan oleh siapa? Pastinya ada persoalan lain yang harus ditutupi dari sorotan mata para pembaca teks media.

Kita boleh turut mengecam tindakan tidak waras kawan-kawan polisi, tentara, dan ormas antikomunis bahwa pemberangusan simbol-simbol komunisme hingga berupaya menutup akses wacana sejarah dan gagasan kekiri-kirian adalah kekejian terhadap kepemilikan nalar sehat; menyeragamkan pengetahuan dari kacamata penguasa.

Soalnya kita yang waras pun pasti tak mau bila anak cucu kita kena tipu daya penguasa licik dan menjadi korban kekonyolan nafsu geng fasis. Para keluarga tapol ’65 adalah barisan yang sempat dikorbankan atas label tidak menyenangkan dari penguasa Orba. Apa kita mau menambah jumlah korban label tersebut di masa kini? Tentunya, kita juga tidak ingin terlalu sibuk melayani stigma klan fasis yang memang sengaja mencacatkan nalarnya. Sungguh buang-buang waktu.

Hal terpenting, seharusnya kita menyadari bahwa struktur kekuasaan punya peran mengendalikan wacana di khalayak. Negara yang sedang dibajak klan fasis berupaya mengontrol pola pikir dengan cara memproduksi pengetahuan naif. Kesadaran kritis sedang dialihkan supaya kelompok-kelompok sosial tertentu tidak peka bahwa penguasa negara gagal memenuhi hajat hidup rakyat. Makanya, selain mereaksi agenda-agenda pemberangusan fesyen intelektual kiri dan ruang berwacana, sebaiknya kita tetap terus menaikkan wacana marjinalisasi ruang hidup: petani, buruh, dan kaum miskin kota.

Kelas Penyebar Benih Wacana

Kenapa kita harus terus memproduksi wacana tandingan?

Struktur negara melalui aparatusnya sedang berupaya menormalisasi nalar warganya melalui produksi ulang pengetahuan usang bahaya komunisme. Kekuasaan dan pengetahuan adalah hal yang bertimbal balik. Pengetahuan usang bahwa komunisme adalah momok jahat penebar kekejian sedang direproduksi untuk konsumsi nalar khalayak. Lewat narasi-narasi bahwa G 30 S 1965 adalah aksi sepihak PKI yang antituhan, aparat berusaha mencari simpati massa bahwa siapapun yang berfesyen dan bergagasan kekirian adalah musuh masyarakat. Malahan ada tokoh militer dan ormas antikomunis yang menyarankan agar film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C. Noer diputar di sekolah-sekolah.

Bagi kaum awam yang buta histori, hal itu bukanlah represi karena mereka merasa tidak dipaksa mengonsumsi pengetahuan lawas bahaya komunisme. Kaum awam nan pemuja konservatisme negara justru merasa nyaman saja dan perlu adanya upaya mempertahankan (menghadirkan lagi) wacana kejahatan komunisme supaya tidak ada gerakan kritis-progresif yang berpotensi menimbulkan pergolakan sosial. Nalar awam cenderung menyukai kestabilan yang statis.

Maka aparatus negara nan fasistik memainkan relasi antarkelompok: bertuhan-antituhan, patriotik-musuh negara, baik-jahat. Tentunya akan ada relasi yang dibikin penguasa struktur guna menghegemonikan pengetahuan kejahatan komunisme atau marabahaya gerakan kekirian. Nantinya, anggota masyarakat yang terhegemoni akan merelasikan perkubuan antara patriotik-Pancasilais-bertuhan (kubu baik) dengan kekirian-musuh negara-antituhan (kubu jahat). Ya, kekuasaan memanglah strategi relasional berbasis pengetahuan. Gagasan knowledge to power-nya Michael Foucault benar-benar terbukti.

Sesekali, kita perlu memainkan kuasa bagi kaum awam. Namun kuasa yang kita hadirkan bisa dengan cara antirepresi, yakni mengedarkan wacana tanding bahwa G 30 S adalah konflik politik yang berujung pada tindakan pemberangusan anak-anak bangsa berlabel komunis. Di balik wacana G 30 S versi klan fasis ada kezaliman terhadap HAM dan pembengkokan sejarah. Ruang diskusi, sebaran literatur, proyek kesenian, hingga gerakan jalanan adalah wahana potensial untuk menandingi wacana picik penguasa.

Apabila nantinya terjamah geng fasis kemudian dibubarkan, itulah pemicu bibit-bibit wacana tanding supaya tumbuh subur. Jadi, semakin diganyang justru semakin pintar, menjalar, liar, dan bayangkan betapa repotnya aparat penguasa main gebuk sana-sini. Menggairahkan, bukan? Generasi waras bangsa ini tentunya semakin militan, semakin cerdas; kaum awam berkurang.

Menghadirkan wacana tanding adalah alternatif penyadaran sebelum orang-orang tertarik bergerak memperjuangkan kebebasan berekspresi maupun kemerdekaan ruang penghidupan. Wacana-wacana tersebut bisa tidak melulu menyoal tragedi ’65 dan akibatnya. Persoalan yang perlu dipropagandakan ialah perihal gagalnya kekuasaan (negara dan kapital) menjamin kesejahteraan hidup umat; kekuasaan tersebut sekaligus berfungsi sebagai mesin penindas.

Perlawanan dari Bawah

Saya mengapresiasi mulia untuk sekawanan orang yang hari ini masih gigih menebar ruang-ruang diskusi menyoal fasis intoleran, darurat agraria, dan kesenjangan sosial modernitas. Walau seringkali ruang-ruang mereka dibredel penguasa sekaligus antek-antek aparatusnya, mereka terus memperjuangkan manifesto liar nan memerdekakan.

Tentunya ini memang tugas kaum intelektual-waras untuk mengorganisir dan menelusupkan ide-ide cerahnya kepada segelintir awam yang bertebaran. Kata Edward Said, fungsi kaum intelektual adalah mengontrol wacana kekuasaan yang menindas; memberi pencerahan pula. Sebelum doktrinasi naif penguasa picik semakin menguat di masyarakat, bahkan meracuni otak para murid di institusi pendidikan, intelektual-waras yang berani bermain konflik wacana memang harusnya terus-menerus membangun hegemoni. Kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak berekspresi dan ruang penghidupan wajibnya bersolidaritas; mempersolid jejaring sindikasi, mengkontra penguasa lalim.

Hegemoni bikinan kaum intelektul-waras memang harusnya bersifat multiwacana namun ada satu keantagonisan yang ditarget: penguasa memproduksi kejahatan dengan cara menaifkan masyarakat, membatasi akses sumber daya, dan mengakomodir kepentingan pemodal. Inilah yang digagas duo begundal pos-marxis bernama Laclau dan Mouffe bahwa membangun hegemoni pembebasan harus mengandalkan artikulasi diskursif; menjelaskan wacana-wacana waspada penindasan. Untuk menghadapi rezim kapitalisme lanjut memang dibutuhkan chain of equivalences, rangkaian rantai wacana dari pihak-pihak tertindas supaya dibentuk kanal wacana antisistem penguasa-penindas.

Apabila kanal wacana alternatif-hegemonik itu kuat dan menyeruak ke khalayak, setidaknya kelatahan menghadapi hantu komunisme versi penguasa bisa diminimalisir. Kita, yang mengklaim diri sebagai intelektual pun jadi tidak gagap pergerakan atau asing memandang perjuangan radikal. Selebihnya, fokus akan memperjuangkan pembebasan ruang hidup pun semakin masif. Kaum waras-kaum tertindas berkolaborasi, penguasa-pemodal jauh dari simpati. Simbol-simbol subversif pun dimaknai positif.

Tunggu apalagi wahai bung dan nona pembangkang? Motif licik penguasa sudah terkuak, ayo tandingi, selamatkan si awam, jangan biarkan simbol subversifmu dikoyak-koyak!

Begitulah analisanya mengapa praktik-praktik pemberangusan simbol komunisme bisa dikatakan sebagai “bahaya laten”. Apalagi kalau bukan sebagai strategi pemberangusan terhadap wacana-wacana antipenindasan? Jargon “kami akan tetap ada dan berlipatganda” bukanlah sekadar fesyen bergaya intelektual. Mari tandingi penguasa, bangun hegemoni baru. Semua orang berpotensi jadi intelektual, kenapa tidak dicuci saja otaknya supaya lebih pintar? Sungguh terpuji!

Razia dan penggerebekan yang kemarin hari terjadi bukan hanya soal mengamankan simbol-simbol yang dicap subversif. Simbol memiliki makna yang bisa diwacanakan. Wacana punya manifesto yang kian menggelorakan aspirasi dan praktik pergerakan. Suatu rangkaian analogi: palu-arit identik komunis, komunis dekat dengan kajian Marxisme, kajian Marxisme mengajarkan perjuangan kelas melawan penindasan, maka aspirasi kritis di bawah era kangkangan kapital adalah kerikil bagi penguasa lalim. Intinya, yang diberangus adalah aspirasi.

Alangkah mengerikan apabila aspirasi diberantas dengan pengecapan simbolik yang memantik masyarakat majemuk berkonflik dengan cara menganggap mereka yang memperjuangkan keadilan adalah “komunis” dan menjadi “komunis” adalah musuh negara yang harusnya tiada. Rakyat saling menghabisi, penguasa-pemodal ongkang-ongkang kaki. Berandal-berandal kampus terancam hedon tidak progresif. Kaum marjinal makin banyak berserakan, tiada yang peduli.

Bayangkan, bila skrip-skrip Marxisme nantinya dihanguskan hanya karena dicap komunis. Kajian hegemoni, intelektual organik, budaya konsumtif, posmo, dan ekonomi kerakyatan tidak akan ada yang diketahui.

Mengkaji wacana kekirian yang menyoal kemapanan memang memiliki efek dahsyat. Secara ideologis bisa bikin mahasiswa-mahasiswi sekampus membolos kuliah untuk berangkat berdemo, aksi pemogokan ujian semester, penolakan massal menggarap skripsi secara masif, atau malah mengangkat Bu Sukinah dan Pak Gunretno sebagai profesor. Sedangkan efek non-ideologisnya, bisa menyebabkan pria muda jomblo memiliki banyak antrian kader perempuan karena idiom sakti “kiri itu seksi” bisa memancarkan pesona kepada lawan jenis. Dahsyat, bukan?

Inilah kenyataannya, kaum kekirian atau klan pembebasan memang rentan dicap rata sebagai “komunis”. Kiri kerap diperhantukan oleh para setan fasis. Di balik tuduhan “hantu komunis” itu, wacana pembebasan arek-arek kiri akan dikebiri sampai pingsan, bahkan mati. Sadarlah bahwa apa yang menimpa Adlun Fiqri dan kamerad-kameradnya adalah represi nalar dari penguasa.

Siapapun yang hidup di atas tanah air kekuasaan negara renta ini bisa kena kesialan yang sama. Dicap subversif supaya diasingkan; menuju kematian perjuangan. Hantu-hantu sebenarnya ialah kaum tukang gebuk, geng pemberangus, patriotis-fasis, moralis-antikritis, dan semuanya berkawan dengan aparat yang dibelai pemodal.

Lalu, sebagai sekawanan manusia yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi, apa kita hanya cukup menggeleng kepala-mengelus dada sambil mengamati kelakuan pemberangusan dari aparat dan ormas antikomunis? Hei bung dan nona, masih banyak orang-orang lapar berlalu lalang di jalanan negara. Petani desa pun terancam tiada bertanah.

Megaproyek akan menghisap tenaga-tenaga mantan akademisi dan mengasingkannya dari kecerahan nurani. Saya harap bung dan nona pembaca bisa memaksimalkan fungsi akal yang dikaruniakan Gusti Allah. Semoga Kivlan Zen pun bisa pandai bersyukur!