
Pemilu 2024 tinggal sebulan lagi. Para calon legislatif juga calon presiden dan wakil presiden beserta tim suksesnya semakin gencar memaparkan visi-misinya. Periode kampanye yang sudah mendekati masa akhir, tentu menjadi detik-detik penting. Kesempatan untuk mencari sebanyak-banyaknya suara tersisa sedikit lagi.
Begitu juga dengan pemilih (masyarakat). Masa kampanye merupakan periode penting dalam menentukan pilihan. Maka, sudah barang wajib masyarakat mendapatkan informasi yang selayaknya didapatkan. Disinilah media memegang peran penting.
Media mesti memperhatikan pemberitaannya agar informasi yang sampai kepada publik dapat menjadi sumber pertimbangan rasional untuk memilih. Bukan malah menyajikan informasi yang memandang publik hanya sebagai penonton dalam perhelatan lima tahunan ini. Apalagi sampai memecah belah bangsa. Jangan sampai.
Tiga hal yang sebaiknya diperhatikan oleh media dalam memberitakan pemilu:
1. Utamakan Isu Substansial
Harus diakui, menjelang pemilu 2024 ini, tidak sedikit media yang memberitakan politik menggunakan logika entertainment. Sederhananya, ranah personal para politisi lebih masif diberitakan ketimbang gagasan, rekam jejak, dan kualitas kepemimpinannya. Padahal, hal tersebut sedikit (atau bahkan tidak ada sama sekali) pengaruhnya bagi kehidupan publik.
Pemberitaan semacam itu dikenal dengan istilah politainment, yang merujuk pada fenomena kultural dan politis di mana tidak ada batas yang jelas antara politik dan entertainment.
Politainment tidak dilarang. Tetapi bisa merugikan. Mengapa demikian?
Sebab, politainment bisa mengalihkan informasi-informasi penting (substansial) karena sisi entertainment lebih disoroti. Besar kemungkinan, persepsi publik terhadap para kandidat akan terpengaruh model pemberitaan semacam ini – yang parahnya bisa berkebalikan dari aslinya. Dan yang tidak kalah buruk, politainment bisa saja menutupi bobroknya gagasan, kebijakan, rekam jejak, serta kualitas kepemimpinan para kandidat.
2. Jangan Mengamplifikasi Ujaran Kebencian dan Hasutan
Dalam buku panduan peliputan pemilu 2024 yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, ujaran kebencian dan hasutan didefinisikan sebagai bentuk komunikasi yang bertujuan untuk memicu emosi negatif dan sikap intoleransi terhadap lembaga, kelompok, atau individu tertentu.
AJI juga mengingatkan sebagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang terpecah belah akibat pemilu 2014 dan 2019. Menurutnya, ujaran kebencian dan hasutan merusak demokrasi karena ruang-ruang komunikasi publik berpotensi terhambat oleh syak wasangka.
Maka, media perlu hati-hati dalam menerbitkan berita-beritanya. Terlebih lagi pada saat masa kampanye. Jangan sampai turut menyebarkan berita bermuatan ujaran kebencian dan hasutan.
3. Hati-hati Memberitakan Hasil Jajak Pendapat (polling)/survei
Survei menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan dalam setiap gelaran pemilu. Pun demikian, hasil survei juga tidak pernah luput dari sorotan media. Persoalannya, memberitakan hasil survei bukan hanya siapa/partai mana menempati urutan nomor berapa. Memberitakan hasil survei perlu analisa dan pemahaman konteks secara menyeluruh. Alias, jangan memberitakan hasil survei secara mentah-mentah. Dengan demikian, publik akan mendapatkan informasi yang utuh mengenai hasil survei dan apa yang melatarbelakanginya.
AJI Indonesia dalam buku panduan peliputan pemilu 2024 telah memberikan pedoman perihal poin apa saja yang perlu diperhatikan dalam memberitakan hasil survei.
1. Pilihlah lembaga survei yang kredibel dan punya rekam jejak yang bagus.
2. Cek, apakah lembaga tersebut terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau tidak. Lembaga survei yang terdaftar di KPU adalah lembaga yang dianggap resmi dan diakui kredibilitas dan profesionalitasnya oleh KPU.
3. Kenali mana lembaga survei yang bekerja secara independen dan mana lembaga yang bekerja untuk pemenangan kandidat/partai tertentu.
4. Usahakan tidak membuat berita hanya berdasarkan hasil satu lembaga survei. Bandingkan dengan hasil survei lembaga lain.
5. Laporkan hasil survei dalam konteks yang lebih besar atau dalam trens yang lebih panjang. Tren bisa dilihat dari hasil survei sejumlah lembaga utama unntuk periode tertentu. Hasil survei yang bebeda dari tren perlu diwaspadai dan diperlakukan dengan skeptis.
6. Jangan mengandalkan interpretasi lembaga survei, periksa daftar pertanyaan, bandingkan dengan hasilnya, dan tren hasil survei lain.
7. Laporkan waktu pelaksanaan survei dan perhatikan peristiwa penting yang kemungkinan besar mempengaruhi hasil survei tersebut.
8. Laporkan metode survei, cara pengambilan sampel, keterbatasan, serta margin of error.
9. Jelaskan profil lembaga pelaksana survei, lebih baik bila bisa mengungkap siapa penyandang dananya.
Selain tiga hal yang telah diuraikan. Tidak boleh dilupakan bahwa media harus tetap berpegang teguh pada prinsip jurnalisme. Pun juga jurnalis yang mesti patuh terhadap kode etik jurnalistik.
Sumber&referensi:
– remotivi.or.id
– Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, “Panduan Peliputan Pemilu 2024 Bagi Jurnalis”