Pernyataan Solidaritas Bara-Baraya Makassar Menolak Tergusur

0
21

Upaya eksekusi terhadap pemukiman warga kampung kota Bara-Baraya oleh mafia tanah yang diduga bekerja sama dengan Pengadilan Negeri Makassar dan Polrestabes Kota Makassar berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pengadilan Negeri Makassar seharusnya tunda dan hentikan eksekusi Bara-Baraya hingga ada kepastian hukum yang jelas, transparan, dan adil bagi warga Bara-Baraya. Pengadilan Negeri Makassar segera patuhi Surat Permintaan Penundaan Eksekusi dari Komnas HAM dan Surat Penangguhan Eksekusi Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1021 PK/Pdt/2022 yang telah dilayangkan warga Bara-Baraya. 

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus segera lakukan investigasi atas dugaan terlibatnya mafia tanah dan tindakan hukum yang tidak sah terkait penerbitan sertifikat pengganti. Warga Bara-Baraya telah menempati tanah tersebut melalui proses jual-beli yang sah. Mereka menemukan fakta bahwa terjadi manipulasi hukum berupa terlibatnya mafia tanah. Satgas Mafia Tanah Kementerian ATR/BPN harus menindaklanjuti laporan warga Bara-Baraya sebagaimana termaktub dalam surat resmi tertanggal 23 Januari 2025.

Temuan bukti atas penyelewengan tindakan hukum itu merujuk pada laporan warga Bara-Baraya Makassar atas dugaan tindak pidana pemalsuan keterangan atas Akta Otentik di Polda Sulawesi Selatan pada 6 Oktober 2025 dalam siaran pers LBH Makassar. “Laporan pidana ini didasarkan atas ditemukan putusan Nomor: 2/Pdt.G/2017/PN Mks yang menunjukkan pihak Nurdin Dg. Nombong dkk. menggugat HW (Warga Bara-Baraya) terkait kasus Wanprestasi,” tulisnya.

Maka tak semestinya terjadi eksekusi penggusuran di tanah Bara-Baraya karena upaya hukum yang ditempuh pihak bersengketa masih berjalan. “Pesan ini harus menjadi perhatian penuh bagi Pengadilan Negeri Makassar termasuk pihak keamanan yang hingga kini terus ingin melakukan upaya eksekusi atas perkara asal,” tulis siaran pers tersebut.

Ruang Hidup yang Layak adalah Hak

Setiap orang berhak untuk hidup di tempat yang aman, dalam kondisi yang layak, dan tidak boleh kehilangan tempat tinggalnya secara sewenang-wenang. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2025. Hak atas tempat tinggal yang layak adalah bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum internasional sebagaimana disebutkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).

Mengusir warga tanpa solusi pemukiman yang jelas bertentangan dengan hak dasar setiap individu untuk mendapatkan tempat tinggal yang aman dan layak. Relokasi yang tidak direncanakan dengan baik hanya akan menambah beban sosial dan ekonomi bagi warga terdampak. Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Risiko Pelanggaran HAM

Di dalam obyek sengketa itu terdapat sekitar 196 warga yang terdiri dari 93 orang laki-laki dan 103 perempuan terancam kehilangan tempat tinggal dan menjadi tunawisma apabila eksekusi tersebut tetap dipaksakan. Dari segi usia, terdapat 12 orang balita, 27 orang anak, 27 orang remaja, 116 orang dewasa dan 14 orang lansia. Pengadilan Negeri Makassar harus memperhatikan kondisi tersebut dengan menunda eksekusi penggusuran Bara-Baraya. Alasannya, angka potensi korban tersebut didominasi oleh kelompok rentan.

Dalam konteks yang lebih luas, kasus Bara-Baraya mencerminkan permasalahan struktural dalam tata kelola ruang dan hak atas kepemilikan tanah di Indonesia. Minimnya perlindungan hukum bagi warga serta kebijakan pembangunan yang lebih berpihak pada kepentingan modal menjadikan penggusuran sebagai ancaman nyata bagi banyak komunitas urban. Warga di berbagai daerah, seperti Taman Sari di Bandung, Kulon Progo di Yogyakarta, Kampung Bukit Duri dan Kampung Bayam di Jakarta, serta daerah-daerah lain telah menjadi korban penggusuran dengan dalih pembangunan infrastruktur dan investasi. Banyak dari penggusuran tidak hanya dilakukan oleh aparat, tetapi juga melibatkan mafia tanah yang bekerja sama dengan korporasi besar untuk merebut ruang hidup warga.

Perkara pelik warga Bara-Baraya bermula sejak terbitnya sertifikat pengganti SHM No.4/Kel. Bara-Baraya Tanggal 30 Juni 2016 dan Surat Ukur Tanggal 18-04-2016 No.00955/2016 yang menjadi dasar eksekusi terhadap warga. Artinya, jika dirunut dari perkara sengketa dengan HW menunjukkan bahwa Nurdin Dg. Nombong mengetahui bawah SHM No. 4 tidak hilang melainkan sedang dalam penguasaan pemilik sah sertifikat tersebut.

Inisial HW yang dimaksud adalah Hengky Wirawan. Ia diduga mendapatkan langsung Sertifikat Hak Milik (SHM) No.4/Kel. Bara-Baraya tanggal 26 Juli 1965 melalui proses jual beli kepada Nurdin Dg. Nombong pada 1991. Nurdin Dg. Nombong telah melaporkan kehilangan Sertifikat Hak Milik No. 4 yang berlokasi di Kamp Bara-Baraya Kec. Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan seluas 32.040 meter persegi atas nama Moedhinoeng Daeng Matika dan telah dimuat juga pada harian tribun timur tertanggal 25 Juni 2013. Sertifikat itu diduga hilang pada bulan Juni 2007 dalam wilayah kota Makassar. Laporan kehilangan ini dijadikan gugatan kepada warga Bara-Baraya untuk menyerahkan Sertifikat Hak Milik No. 4, dengan tanggal 26 Juni 1965 kepada Nurdin untuk dikembalikan ke Kantor BPN Kota Makassar dan ditarik dari peredaran.

Berdasarkan fatwa waris pengadilan agama tahun 1967 tanah seluas 3,2 hektar merupakan milik Moedhinoeng Dg. Matika Berdasarkan SHM No.4 yang kemudian tanah tersebut diwariskan kepada tiga ahli waris: satu laki-laki dan dua perempuan. Laki-laki mendapatkan 1,6 hektar dalam hal ini Nurdin Dg. Nombong dan dua ahli waris lain mendapat masing-masing 0,8 hektar yakni Dania Dg. Ngai dan saudara perempuanya.

Selanjutnya, berdasarkan akta jual beli tanah warga Bara-Baraya, tanah seluas 0,3 hektar yang telah diwariskan kepada Dania Dg. Ngai dijual kepada warga Bara-Baraya. Di sisi lain Nurdin Dg. Nombong menyewakan tanah yang ia dapat kepada Kodam Wirabuana VII (sekarang Kodam XIV Hasanudin) seluas 2,9 Hektar di luar dari luas yang sebelumnya ia dapat yakni hanya 1,6 hektar.

Ancaman penggusuran terhadap pemukiman warga Bara-Baraya bermula 13 Desember 2016. Subuh hari, sekitar 3.000 personel TNI-AD dari Kodam VII Wirabuana dikerahkan. Mereka menggusur lahan 102 rumah. Setiap rumah dihuni 3 sampai 4 kartu keluarga. Di asrama purnawirawan TNI Bara-Baraya itu terdapat setidaknya 600 jiwa.

Danramil 1408-08 Makassar mengeluarkan Surat Edaran perintah pengosongan lahan 28 rumah dengan 67 kartu keluarga atau 271 jiwa di luar asrama pada 1 Februari 2017. Ia kembali mengirim surat serupa pada 13 Februari 2017. Di surat rencana penertiban tanah itu, Kodam VII Wirabuana klaim bahwa bagian dari tanah okupasi. Surat Peringatan (SP) Pertama No. B/356/II/2017 perihal pengosongan lahan 28 rumah terbit 17 Februari 2017. Lima belas personel TNI-AD turun untuk membagikan SP I tersebut.

Luas tanah yang dikuasai kodam setelah menggusur asrama TNI hanya 2,2 hektar. Artinya tanah yang akan dikembalikan masih kurang sekitar 0,7 hektar. Sementara tanah warga yang berada di luar asrama TNI seluas 0,3 hektar—warga Bara-Baraya membelinya dari ahli waris Dania Dg. Ngai—juga ikut diklaim sebagai tanah okupasi TNI. Dampak pengklaiman tersebut menyebabkan lahirnya ancaman penggusuran terhadap rumah-rumah warga.

Sebelumnya, BPN Kota Makassar menolak pengurusan sertifikat tanah warga dan menganggap Akta Jual Beli (AJB) milik warga cacat hukum. Menyikapi pernyataan tersebut, warga Bara-Baraya  melakukan aksi ke kantor BPN Wilayah Sulawesi Selatan pada 20 Februari 2017. Esoknya, DPRD Sulawesi Selatan  melayangkan surat No. 490/61/DPRD ke Pangdam VII Wirabuana berisi muatan untuk menghentikan sementara penerbitan SP II dan mengharapkan Kodam berhenti mengintervensi warga. Ternyata surat itu tak diindahkan. Pada 6 Maret 2017 terbit SP II No. B/532/III/2017 perihal serupa SP I.

Warga Bara-Baraya menuntut agar DPRD mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan semua pihak yakni Kodam dan BPN Makassar. Mereka melakukan aksi di Kantor DPRD SULSEL, Gubernur dan BPN pada 12 Maret 2017. Lusa hari, 15 Maret 2017, RDP dilangsungkan. Rekomendasinya meminta Kodam menahan diri atas segala bentuk intimidasi dan eksekusi sebelum terdapat putusan pengadilan tetap. Meski begitu, Kodam bersikukuh menertibkan rumah warga dan  menawarkan uang kerohiman senilai 100 juta namun warga tetap menolak.

Aksi warga Bara-Baraya di BPN Makassar pada 16 Maret 2017 membuahkan hasil berupa pernyataan  sikap BPN mendukung perjuangan warga yang memiliki AJB serta merekomendasikan agar didaftarkan sebagai Sertifikat Hak Milik. Kenyataannya justru berbalik. Pada Jumat malam, 16 Maret 2017, warga menerima SP III tertanggal 15 Maret 2017 melalui petugas kantor pos. Warga memblokade Jalan Abu Bakar Ali Lambogo untuk mengantisipasi terjadinya penggusuran lahan warga.

Komnas HAM RI sempat merekomendasikan Kodam VII Wirabuana menunggu proses hukum yang tengah berjalan sehingga menghasilkan putusan tetap. Rekomendasi itu diteruskan kepada Presiden RI melalui Kementerian Sekretaris Negara yang menyatakan hal serupa bahwa Kodam VII Wirabuana menghentikan rencana penggusuran terhadap warga Bara-Baraya dengan menarik Surat Peringatan terkait rencana penertiban 28 rumah warga. Berhasilnya upaya konsolidasi ini tak berarti menghentikan konflik penyelesaian hukum non-litigasi.

Nurdin Dg. Nombong meneruskan sengketa itu dengan menggugat 28 warga Bara-Baraya ke Pengadilan Negeri Makassar pada 21 Agustus 2017. Gugatan Nurdin Dg. Nombong tidak diterima Hakim PN Makassar dengan alasan ada pihak yang menguasai objek namun tidak digugat; penggugat tidak mengetahui batas-batas wilayah; penggugat tak menggugat pihak penjual dalam hal ini ahli waris.

Mundurnya Kodam dalam rencana penggusuran justru masuk ke dalam daftar tergugat. Ditolaknya gugatan Nurdin Dg. Nombong berlanjut ke Pengadilan Tinggi Makassar dengan posisi banding pada 7 Desember 2018 namun tetap ditolak. Ia melakukan gugatan kedua. Menambah 11 daftar tergugat menjadi 39 warga pada 10 Juli 2019 dan Hakim tetap menolaknya dengan alasan serupa gugatan pertama. Namun pada 9 September 2020, Hakim Pengadilan Tinggi Makassar mengabulkan semua isi gugatan banding Nurdin Dg. Nombong dengan alasan penggugat memiliki hak menentukan siapa yang hendak digugat sehingga membantah alasan hakim atas putusan pertama. Kedua, hadirnya SHM pengganti tahun 2016 yang tidak mencantumkan pembagian ke ahli waris siapapun sehingga menjadikan tanah yang dibeli warga dianggap tidak sah.

Nurdin Dg. Nombong menerbitkan sertifikat pengganti pada tahun 2016 memutihkan sertifikat asli yang dibuat pada tahun 1962 dengan alasan dokumen itu telah hilang. Namun yang menjadi pembeda dengan sertifikat sebelumnya, sertifikat pengganti tersebut memutihkan pembagian waris sebelumnya. Sehingga membuat tanah yang seluas 3,2 hektar milik Dg. Matika pada sertifikat pengganti kembali utuh dan belum terbagi secara waris. Hal ini menuai kejanggalan berupa kontradiksi dengan akta jual-beli yang dimiliki warga apabila mengacu pada fatwa waris yang dikeluarkan pengadilan agama pada tahun 1967. 

Naskah: PPMI DK Kedu
Editor: Delta Nishfu