Cerpen karya Yael S. Sinaga yang menurut Rektorat USU mengandung unsur pornografi dan kampanye LGBT dibedah oleh PPMI DK Mataram. Menghadirkan dua narasumber, yaitu dosen pendidikan bahasa Indonesia FKIP Universitas Mataram (UNRAM) Johan Mahyudi dan Sastrawan NTB, Kiki Sulistiyo. Diskusi sekaligus bedah cerpen ini diadakan pada Jumat kemaren (29/03).
Diskusi yang juga disiarkan secara langsung di media sosial instagram PPMI DK Mataram ini menjadikan Kiki Sulistiyo sebagai penyaji pertama. Ia memulainya dengan menerangkan bahwa sepanjang sejarah ada banyak karya sastra yang menuai kontroversi baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sebagai contoh adalah novel berjudul ‘Langit Makin Mendung’ karya Kipandjikusmin yang terbit di majalah Sastra pada Agustus 1968. Karya tersebut menuai kontroversi karena kisahnya menggambarkan turunnya Muhammad bersama Jibril untuk menyelidiki sebab sedikitnya Muslim yang masuk surga. Di Sumatera Utara, cerpen ini dilarang terbit.
Karya Yael S. Sinaga justru berbeda, “bagaimana cerpen yang begitu buruk bisa memicu hal sedemikian luas?” Tanya Kiki. Jika dikaji dari segi sastra ada banyak hal yang tidak masuk akal dari segi cerita maupun bahasa. Cerita ini adalah cerita yang sinetronik dengan karakter yang hitam putih, dimana tokoh protogonis sangat baik sementara tokoh antagonis akan sangat jahat. Penulis pun terkesan tidak paham dalam penggunaan bahasa karena terjadi banyak kesalahan baik secara tekstual maupun kontekstual. Dalam hal tekstual, misalnya penggunaan kalimat ‘hancur berkeping-keping tanpa sisa’, “kalau sudah hancur berkeping-keping memang ada sisanya?” Tanyanya. Dalam hal kontekstual, penulis ingin memasukkan semua isu-isu besar kedalam cerpennya dan merasa terbebani dengan hal ini seperti represi pemerintah, isu LGBT dan perbedaan agama.
Johan Mahyudi menyepakati apa yang diutarakan Kiki. “Cerpen ini ditulis buru-buru, belum sempat dirapikan tetapi idenya memang sensitif,” ucapnya. Johan menambahkan jika itu berkaitan dengan LGBT, satu paragraf saja bisa digoreng tulisannya. Tetapi sebenarnya, jika ini dibiarkan tidak akan ada apa-apa. Rektor memang harus melaksanakan kewajibannya daripada dipanggil menteri, itu justru yang berbahaya. “Namun, memecat semuanya itu seperti cuci gudang saja,” tambahnya. Baik ia maupun Johan menyepakati bahwa tindakan yang diambil oleh Rektor itu terlalu responsif.
Diskusi ini berakhir dengan sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, Wahyu, salah satu peserta diskusi beranggapan bahwa dalam cerpen tersebut tidak terdapat unsur pornografi ataupun dukungan kepada LGBT. Menanggapi pernyataan Wahyu, Kiki Sulistiyo pun sepakat.
Berasarkan hasil diskusi di atas, maka PPMI DK Mataram menyatakan sikapuntuk menuntut Rektor USU untuk memikirkan kembali keputusannya dalam memecat 18 anggota Suara USU dengan memperhatikan beberapa hal:
- Tidak ditemukannya unsur pornografi maupun LGBT yang menjadi alasan pemecatan 18 pengurus Suara USU dalam diskusi bersama Kiki Sulistiyo dan Johan Mahyudi.
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
- Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Penidikan Tinggi pasal 9 ayat 1 serta Peraturan Pemerintah no 16 tahun 2014 tentang Statuta Universitas Sumatra Utara pasal 1 ayat 1 tentang kebebasan Akademik.