Kurang elok mungkin ketika orang lain bertanya, kita justru menimpalinya dengan pertanyaan lagi. Yang justru, akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain tak berujung. Kalau guru SMP saya tahu tentang ini, pasti dia mengatai muridnya ini sebagai golongan bani israil. Banyak bertanya, parahnya, berakhir dengan tidak melakukan suatu apapun dari bahasan tersebut. Maklum, tidak ada mata pelajaran Materialisme Dialektika Historis (MDH) di SMP. Banyak bertanya seringkali menjadi hal yang tabu kala itu. Meskipun pada sampul buku tulis berwarna coklat, yang sering saya dan teman-teman gunakan, ada peribahasa legenda: malu bertanya sesat di jalan.
Beda sekolah beda guru. Sebagaimana Rosy yang tidak satu SMP dengan saya, dia terbebaskan dari bayang-bayang tudingan sebagai golongan bani israil karena banyak bertanya. sejak dalam kandungan. Rosy menyodorkan banyak pertanyaan dalam tulisannya, yang tidak menutup kemungkinan juga mewakili pertanyaan Persma lainnya. Bahkan mungkin orang-orang di luar Persma.
Dimulai dari judul berupa kalimat tanya yang mencoba menantang para pembaca sekilas meraba-raba jawabannya. Pada badan tulisan sedikitnya ada sepuluh kalimat yang diakhiri dengan tanda tanya. Jika ada pertanyaan yang tersirat tanpa tanda tanya saya tidak menghitungnya.
Maaf, saya dan Rosy belum saling kenal untuk sekadar tahu apa yang dia pendam dalam hatinya.
“Kenapa hanya antarasulteng.com dan faktasulteng.com yang memberitakan pasca dies natalis PPMI? Ke mana media umum yang lain? Yang menjadi tidak wajar adalah: bagaimana bisa mereka(Staf Ahli Kantor Kepresidenan danWakil Bupati Trenggalek) hadir dalam agenda besar PPMI? Apakah PPMI (atau oknum di dalamnya) memiliki kedekatan dengan politisi tersebut? Kedekatan macam apa, yang membuat Wakil Bupati Trenggalek jauh-jauh datang ke Palu? Lalu seberapa penting buku Bung Karno Menerjemahkan Al Quran, dibedah dalam acara nasional PPMI? Kenapa Bung Karno, kenapa Alquran? Tapi, tidak adakah buku lain yang lebih relevan bagi persma untuk dibedah? Seberapa banyak persma yang tuntas membaca buku putih tersebut? Pers mahasiswa mau ke mana?”
Sebelumnya saya sampaikan dulu bahwa saya tidak bisa menjawab pertanyaan ewuh di atas. Tentu Rosy memuntahkan pertanyaan-pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Pertanyaan pertama misal,benar bahwa pada tahun sebelumnya, peringatan Dies Natalis PPMI banyak disoroti media umum. Setidaknya media arus utama sebesar tempo.co turut serta memberitakan Dies Natalis PPMI XXIV yang kala itu membahas tentang pembungkaman terhadap mahasiswa yang banyak terjadi di kampus-kampus. Topik yang secara umum tidak jauh berbeda dengan tahun ini, terkait ancaman demokrasi dan ruang hidup.
Respon terhadap agenda Dies Natalis PPMI XXV terlebih pemberitaan dari faktasulteng.com, tidak hanya oleh Rosy. Jika Rosy menuangkan keresahannya dalam bentuk tulisan dan dibumbui banyak “tanda tanya”, seorang kawan juga mengeluhkan hal serupa. Melalui akun facebooknya dia menulis status yang isinya cukup ngeri bagi saya. Saya enggan menyampaikannya kembali.
Lain lagi di grup ngerumpi Persma tempat saya bersemayam di dalamnya. Seorang personel dalam grup Whatsapp ini lebih menyoroti bahwa tulisan “Pers Mahasiswa Mau Ke Mana?” baiknya hanya konsumsi internal.
Aurat PPMI atau Persma, jangan diumbar-umbar. Buat pelajaran bagus, tapi untuk dipublikasikan secara luas lewat media persmahasiswa.id, rasanya jangan. Kawan saya satu ini dan satunya lagi—yang tiba-tiba muncul di grup, mereka sepakat bahwa persmahasiswa.id lebih berfaedah jika menyuguhkan wacana tandingan. Mengangkat isu penting nan genting di luar isu-isu reaksioner yang banyak disuguhkan media mainstream pada menu sarapan kita sehari-hari.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Persma melakukan autokritik habis-habisan. Dalam kanal ini saja, sedikitnya ada sebelas artikel yang membahas tentang masalah-masalah Persma. Dari masalah laten pengakuan PPMI, menentukan musuh bersama , sampai pengungkapan hasil investigasi doraemon dan koleganya mengenai kebiasaan Persma di bulan Ramadhan.
Bahkan, sekilas bagaimana Persma membangun wacana tandingan sudah sedikit disinggung juga oleh Taufik Nurhidayat dalam tulisan idealisme persma atas nama kebutuhan. Semua disampaikan dengan gayanya masing-masing, ada yang tegas lantang dan lebih banyak lagi yang cengengesan.
Ah, kalau di Jawa teriak jancuk itu kasar kecuali kepada kawan dekat. Kata kawan-kawan di Makassar, teriak sentili kepada orang yang tak dikenal bisa berujung masuk rumah sakit. Mungkin begitu budaya kita. Pura-pura ndak sayang padahal euh yeah-euh yeah di belakang. Pura-pura marah padahal kangen mabuk bareng.
Maka dari itu, barangkali, kita semua mau mengamini bahwa kritik itu tak pandang bulu. Ini tandanya, apa yang dilakukan Persma selama ini (mengritik pemerintah, birokrat kampus dan pihak-pihak yang tidak berperikemanusiaan lainnya) bukan karena Persma benci. Tapi karena sayang. Unch unch…
Sekali lagi, untuk menjawab keresahan kawan tadi mengenai inklusifnya persmahasiswa.id dengan memuat tulisan macam yang ditulis Rosy. Persma.org memang melawan mainstream media milik suatu organisasi, yang notabene cenderung kehumasan. Alih-alih banyak promosi dan menunjukkan superioritas Pers Mahasiswa yang ngeri itu, justru lebih sering diisi dengan tulisan bernada autokritik. Media ini menjadi ruang diskursus kita. Mengharap diskursus yang kita buat dapat menghasilkan solusi konkret mungkin terlalu muluk-muluk. Tapi demi menjaga nalar kritis, kenapa tidak?
Sudah waktunya mungkin Persma harus lebih inklusif. Bahwa masalah di satu elemen menjadi masalah bersama. Pola ini saya rasa cukup membantu mengenalkan PPMI yang apa adanya. Mengingat semakin banyaknya LPM yang bergabung dan kota-kota yang mendeklarasikan diri menjadi pondasi PPMI di kota-kota. Tidak banyak mungkin, veteran Persma yang rela bicara berbusa-busa menceritakan apa dan bagaimana Persma serta salah satu wadahnya, yaitu PPMI berproses selama ini. Paling tidak, pola terbuka ini bisa jadi dasar yang selaras dengan slogan yang sering kita dengar di kalangan Persma: Mari Berjejaring dan Saling Menguatkan. Masalahku juga masalahmu, dek.
Lebih dari itu, mempertanyakan arah gerak secara terur-terusan mungkin perlu. Karena di tengah samudera, badai bisa datang kapan saja, Tuan dan Puan! Tak perlu munafik bahwa Persma barangkali imannya sedang goyah di tengah samudera yang juga kadangkala menawarkan kenikmatan ini. Tapi, yang jelas, kita sudah harusnya sedari awal menentukan di mana posisi kita.
Bagi saya, frasa Pers Mahasiswa sudah cukup mewakili pertanyaan apa itu Persma? Bagaimana idealisme persma? Kata pertaman, Pers, dengan keseimbangan fungsi-fungsinya terutama sebagai kontrol sosial. Belum lagi, rumusan sembilan elemen jurnalisme. Yang salah duanya saja, membela kebenaran dan menyuarakan yang tidak bisa bersuara yaitu masyarakat. Singkatnya, apabila di tengok dari sisi jurnalisme, seperti apa yang disampaikan Nurfitriani: Jika sudah tahu bahwa esensi jurnalisme adalah pada disiplin verifikasi, mengapa masih mempertanyakan gaya, identitas, ataupun arah pergerakannya?
Frasa ini dibuntuti dengan kata “Mahasiswa” yang puji tuhan, entah sejak kapan diidam-idamkan sebagai agen perubahan, pemegang tampuk kepimpinan, dan segala bentuk agen itu.