Kebebasan pers, berekspresi, dan akademik, jadi tema tahunan dalam berbagai forum diskusi pers mahasiswa aras nasional. Pada kongres Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Desember tahun lalu di Yogyakarta, hal ini juga terjadi, sama seperti sebelumnya. Membosankan, tapi penting dan mendesak. Membosankan karena sampai kapan hal ini terus didiskusikan, sementara perilaku pejabat kampus masih saja represif, belasan tahun setelah reformasi.
Saya tidak percaya bahwa reformasi membawa perubahan signifikan pada perkembangan pers mahasiswa di Indonesia. Kenyataan bahwa kita merasa lebih aman menulis dan berdemonstrasi tidak jadi tolok ukur tunggal untuk itu. Reformasi terjadi pada tingkatan parlementer dan tersentralisir. Hanya berkaitan dengan regulasi-regulasi dan aktor pemerintahan, serta pada wilayah-wilayah yang kekuatan sipilnya kuat untuk menjadi oposisi terhadap pemerintahan. Karena itu, sepertinya tidak berpengaruh banyak pada perguruan tinggi, terutama di daerah-daerah.
Berdasarkan riset PPMI (2016), ada banyak kasus yang menimpa pers mahasiswa. Di antaranya adalah pemberedelan (11 kasus), pembekuan (2 kasus), dan intimidasi (33 kasus). Sedikit berbeda dengan pers mainstream, pelaku kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah birokrasi kampus (11,31%), organisasi mahasiswa (6,17%) dan dewan mahasiswa (3,9%).
Terbentuknya Dewan Pers untuk menjaga kebebasan pers, tidak berpengaruh banyak pada pers mahasiswa. Ada dua indikator yang menjadi acuan bagi Dewan Pers untuk bergerak, yaitu terverifikasi dan bermuatan positif. Terverifikasi adalah berbadan hukum dan memenuhi beberapa syarat untuk dianggap sebagai bagian dari pers nasional. Sementara bermuatan positif antara lain tidak menyebarkan hoax, diskriminasi SARA, dan mematuhi kode etik jurnalistik.
Indikator tersebut kemudian dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran pertama adalah yang memenuhi kedua indikator, kuadran kedua (muatan positif) dan keempat (terverifikasi) yang hanya memenuhi salah satu indikator, sementara kuadran ketiga adalah yang tidak memenuhi keduanya. Dewan Pers sudah bertekad untuk memprioritaskan kuadran pertama. Dalam hal ini, pers mahasiswa dan media komunitas, masuk ke dalam kuadran kedua dan karenanya tidak menjadi prioritas.
Apakah hal ini bermasalah? Lumayan. Kita dianggap tidak dipayungi oleh UU 40/1999 tentang Pers dan tidak secara langsung dan tidak menjadi prioritas bagi Dewan Pers. Seperti jelas dinyatakan pada pasal 4 ayat 1, “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran”. Masuk menjadi bagian dari pers nasional berarti mendapat jaminan dari pasal tersebut.
UU Pers mengatur bahwa penyelesaian sengketa pers dapat dilakukan dengan hak jawab, hak koreksi dan permintaan maaf. Birokrasi kampus dan aktor lain, dalam kebanyakan kasus yang menimpa pers mahasiswa tidak melakukan langkah-langkah ini. Karena merasa pers mahasiswa berada di bawah komandonya, pimpinan kampus sering berbuat sewenang-wenang bila hasil liputan tak sesuai dengan keinginan mereka. Kesewenangan itu misalnya tampak dari pimpinan kampus yang acapkali melakukan praktik penyensoran kepada pers mahasiswanya. Hasil reportase atau artikel dari pers mahasiswa tersebut harus dibaca dan periksa terlebih dahulu oleh dekanat atau rektorat kampus sebelum terbit. Praktik tersebut dilakukan agar pemberitaan sesuai dengan visi perguruan tinggi tersebut.
Dalam kasus yang lain, pers mahasiswa sangat rentan terhadap penyunatan anggaran. Jika mengeluarkan berita-berita yang sarat muatan kritik, gelontoran dana dikurangi, ditunda bahkan dihentikan. Walau beberapa pers mahasiswa di Indonesia nekat angkat kaki dari kampus, terbukti mereka kesulitan bertahan hidup. Begitu pula dengan sekretariat atau ruangan. Sebagai mahasiswa, anggota pers mahasiswa memang sudah seharusnya mengutamakan kuliahnya ketimbang kepentingan organisasi. Hal-hal seperti saya jelaskan di atas sangat menguras tenaga anggota pers mahasiswa. Pers mahasiswa karenanya sangat bergantung pada kampus, namun tidak sebaliknya.
Salah satu argumentasi yang keluar dari birokrasi kampus adalah karena pers mahasiswa bukan bagian dari pers nasional dan karena di bawah pembinaan kampus. Ganjalan ini bersumber dari pasal 9 UU Pers yang berbunyi, “setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.” Artinya, setiap aktivitas jurnalistik yang tidak berbadan hukum bukanlah pers, termasuk dalam hal ini adalah pers mahasiswa. Selain berbadan hukum, perusahaan pers yang diakui pemerintah harus memiliki modal minimal Rp 50 juta serta membiayai karyawannya. Persyaratan-persyaratan di ataslah yang tidak dapat dipenuhi oleh pers mahasiswa. Jangankan membiayai karyawan, anggota pers mahasiswa saja sering kali harus merogoh kantongnya untuk membiayai penerbitan majalah.
Ada banyak pilihan untuk mengatasi hal ini. Salah satunya dengan mengusahakan badan hukum bagi pers mahasiswa, layaknya pers mainstream. Pers mahasiswa juga dapat memilih keluar dari kampus. Atau tetap di dalam kampus, namun berani mengambil posisi yang lebih berarti di hadapan pejabat kampus. Sehingga jika terjadi tindakan sewenang-wenang, pers mahasiswa melakukan perlawanan. Terutama dengan cara-cara seperti diatur dalam UU Pers, melalui hak jawab, hak koreksi, ataupun permintaan maaf. Tidak serta-merta tunduk terhadap tekanan pejabat kampus.
Pilihan-pilihan tersebut punya beberapa kekurangan dan kelebihan. Namun ada salah satu pilihan terakhir terhadap permasalahan ini. Ia muncul saat kongres PPMI yang lalu: judicial review terhadap UU Pers. Walau mendapatkan apresiasi positif, masih belum menjadi pembahasan yang serius. Jika ditelisik, pilihan ini menghasilkan beberapa pertanyaan. Apa yang hendak diubah dari UU Pers? Apa jaminan bahwa pers mahasiswa lebih baik jika diatur dalam UU Pers dan dipayungi Dewan Pers?
Setelah dipantik, pertanyaan-pertanyaan tersebut butuh diskusi yang lebih mendalam. Belum lagi soal perbandingan dari beberapa pilihan tersebut, manakah yang terbaik dalam menjaga kebebasan pers mahasiswa? Apapun pilihannya, saya hanya merenungi, “perubahan sejarah selalu didorong oleh orang-orang yang memperjuangkannya,” tulis Ariel Heryanto.