Dalam ingatan bangsa Indonesia, seperti yang dibentuk rezim Soeharto. G-30-S merupakan kekejaman yang begitu jahat, sehingga kekerasan massal dengan skala besar terhadap siapa pun terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilihat sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan, bahkan terhormat. Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966 harus dilihat sebagai awal pembangunan sebuah rezim baru. Peristiwa ini dijadikan dalih untuk menegakkan kediktatoran di Indonesia, kemudian mengambil alih kekuasaan dengan cara yang sangat licik. Dengan mengorbankan kurang lebih 3.000.000 nyawa rakyat Indonesia tanpa peradilan. Serta pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke pulau Buru.
Kita tentunya masih ingat dengan pemutaran film tentang kekejaman PKI, yang diputar setiap 30 September oleh antek-antek orde baru. Pembangunan monumen kesaktian Pancasila, pelarangan pembelajaran ajaran Marxisme dan Leninisme serta penyebarluasanya, yang notabenenya hanyalah teori sosial saja. Pelarangan terhadap buku sejarah tentang Bung Karno, Tan Malaka, serta penyebarluasan buku sejarah versi kekuasaan yang semuanya adalah bagian dari proyek pembangunan sebuah rezim diktator yang penuh manipulasi sejarah dan kebohongan .
50 tahun adalah waktu yang begitu panjang, dimana ketidakadilan terhadap korban beserta keluarganya berangsur-angsur terjadi. Seperti halnya terasing dari pergaulan sosial, ditutup ruangnya untuk mengakses hak-hak sipil politik (status kewarganegaraan, hak politik), serta hak ekonomi, sosial, budaya (Ekosob). 50 tahun lebih paska kejadian, kekuasaan dibangun di atas kebohongan yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur oleh negara. Sampai sekarang hal itu masih ada dan terjadi dalam kehidupan “demokrasi” kita sekarang.
Peristiwa 65 adalah peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM) masa lalu yang sampai sekarang belum ditanggapi serius oleh pemerintah. Hal yang sama juga berlaku dalam peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Seperti peristiwa penembakan misterius, kasus Talangsari, Tanjung Priok, Trisakti, juga peristiwa Semanggi I dan II. Padahal komisi penyelidik pelanggaran HAM yang dibentuk Komnas HAM sudah merekomendasikan Kejaksaan Agung bahwa peristiwa 65 adalah sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat. Namun terus ditolak dengan dalih tak lengkap.
Hal ini berjalan tak sejalan dengan berbagai produk hukum yang kemudian hadir paska reformasi yang memuat tentang HAM. Seperti UUD 1945, UU 39 tahun 1999 tentang HAM, dan UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Berbagai instrumen hukum tersebut mengamanatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Termasuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilaisi, yang merupakan amanat dari UU 26 tahun 2000.
Dalam kepemimpinan Jokowi, pemerintah kembali membentuk tim rekonsiliasi gabungan yang terdiri dari Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Polri, BIN, TNI, Komnas HAM. Mereka berkomitmen menyelsaikan kasus pelanggaran HAM secara non yudisial. Itu adalah sebuah isyarat bahwa pemerintahan dan bangsa ini tak berani mengakui kejahatan masa lalu yang dilakukan oleh negaranya sendiri.
Bangsa ini dibangun atas dasar kemanusiaan serta keadialan. Keduanya dipertegas dalam Undang Undang Dasar dan Pancasila sebagai sebuah dasar filosofi. Kita tak boleh lari dari masa lalu, kita kemudian harus jujur, dan negara harus mengatakan yang sebenar-benarnya atas nama keadilan dan kemanusiaan, negara tak cukup hanya melakukan pemulihan hak-hak korban semacam rekonsiliasi, akan tetapi kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi harus dikatakan.
Diskusi Forum Studi Issu-Issu Strategis bersama LPM Cakrawala IDE UPPM Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar